Flash Fiction
Disukai
0
Dilihat
131
KURSI DI TEPI JENDELA
Misteri
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

KURSI DI TEPI JENDELA

Setiap sore, wanita tua itu duduk di kursi rotan tuanya, menghadap jendela besar yang menghadap jalanan kecil. Rambutnya sudah seputih kapas, kulitnya penuh keriput, dan matanya sayu. Tapi siapa pun yang lewat akan tahu: dia sedang menunggu seseorang.

Orang-orang di lingkungan itu sudah hafal rutinitasnya. Beberapa mengangguk sopan, beberapa pura-pura tak melihat. Anak-anak sering berbisik, katanya dia menunggu suaminya yang hilang sejak perang.

“Sudah 40 tahun,” gumam tetangga sebelah suatu hari, “Kasihan. Dia nggak pernah menyerah.”

Waktu terus bergulir. Musim berganti. Tapi kursi itu tak pernah kosong setiap pukul lima sore. Bahkan saat hujan deras, wanita itu tetap duduk, dengan selimut tipis dan secangkir teh yang tak pernah habis.

Suatu sore, seorang anak kecil mendekat dan berdiri di pagar. “Nenek, siapa yang nenek tunggu?”

Wanita tua itu tersenyum. “Kau bisa lihat, kan?” tanyanya sambil menunjuk ke jalan kosong.

Anak itu mengernyit. “Nggak ada siapa-siapa.”

Wanita tua itu tertawa kecil. “Ya, itu karena kau belum belajar melihat dengan hati.”

Hari itu berlalu seperti biasa. Tapi keesokan harinya, kursi itu kosong.

Dan hari berikutnya.

Dan seterusnya.

Warga bertanya-tanya. Sampai akhirnya, kabar itu datang: wanita tua itu telah meninggal dalam tidurnya. Tenang. Seperti biasa, katanya masih tersenyum.

Tetangga yang paling dekat kemudian memutuskan untuk membereskan rumahnya.

Di dekat jendela, mereka menemukan kotak kecil berisi surat-surat tua. Sebagian besar berdebu dan hampir tak terbaca. Tapi yang menarik perhatian adalah sebuah catatan kecil dengan tulisan baru:

"Untuk yang penasaran: Aku tidak pernah menunggu siapa-siapa. Aku hanya tidak mau sendirian saat matahari tenggelam."

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Misteri
Rekomendasi