Malam itu, Clara baru saja pindah ke rumah tua peninggalan neneknya. Dengan dinding berwarna pudar dan lantai kayu yang berderit, rumah itu memiliki pesona tersendiri. Namun, ada sesuatu yang aneh tentang cermin besar di ruang tamu. Cermin itu dikelilingi oleh bingkai kayu ukiran yang rumit, tetapi kaca di dalamnya tampak gelap dan berkabut, seolah menyimpan rahasia.
Setelah menata beberapa barang, Clara merasa lelah. Dia duduk di depan cermin, menatap bayangannya yang samar. Tiba-tiba, dia merasakan sesuatu yang aneh—sebuah gerakan di sudut matanya. Ketika dia berbalik, tidak ada siapa-siapa. Hanya kesunyian malam yang menjawab.
Clara mencoba mengabaikan perasaan aneh itu dan melanjutkan pekerjaannya. Namun, setiap kali dia melirik cermin, dia merasa seolah ada sesuatu yang mengawasinya. Bayangannya tampak sedikit berbeda—lebih gelap, lebih dalam.
Malam semakin larut ketika Clara memutuskan untuk tidur. Namun, saat dia berbaring di tempat tidurnya, suara berisik dari ruang tamu membuatnya terbangun. Suara itu seperti suara kaca pecah dan bisikan halus yang tidak bisa dia mengerti.
Dengan hati berdebar, Clara bangkit dari tempat tidurnya dan perlahan-lahan berjalan menuju ruang tamu. Lampu-lampu rumah itu berkelap-kelip seolah ingin memperingatkannya akan bahaya. Ketika dia sampai di depan cermin, jantungnya berdegup kencang.
Dia melihat bayangannya lagi—tetapi kali ini, bayangan itu tidak hanya meniru gerakannya; ia bergerak sendiri. Bayangan itu tersenyum lebar, meski Clara tidak merasa senang sama sekali.
"Siapa kau?" Clara bertanya dengan suara gemetar.
Bayangan itu tidak menjawab, tetapi gerakannya semakin mendekat. Clara merasa terjebak dalam tatapan kosong yang menakutkan. Dia mundur perlahan, tetapi cermin itu seolah menariknya lebih dekat.
“Bantu aku,” bisik bayangan itu dengan suara serak.
Clara terdiam. Dia ingin lari, tetapi kakinya terasa berat. “Apa yang kau inginkan?” tanyanya dengan suara nyaris tak terdengar.
“Bebaskan aku dari tempat ini,” jawab bayangan itu dengan nada penuh harapan.
Clara merasa ketakutan dan bingung. Dia tidak tahu bagaimana cara membebaskan sesuatu yang terperangkap dalam cermin. Namun, saat dia melihat lebih dekat, dia menyadari bahwa bayangan itu mirip dengan neneknya—wanita tua yang pernah tinggal di rumah ini sebelum meninggal dunia.
“Apakah kau nenekku?” tanya Clara dengan suara bergetar.
Bayangan itu mengangguk pelan. “Aku terjebak di sini selama bertahun-tahun,” katanya. “Kau satu-satunya harapan.”
Clara merasa tergerak oleh kata-kata bayangan tersebut. Dia ingin membantu neneknya, tetapi bagaimana? Dia ingat bahwa neneknya pernah bercerita tentang ritual kuno untuk mengusir roh jahat dari tempat-tempat terkutuk.
“Bagaimana aku bisa membebaskanmu?” tanya Clara.
“Temukan lilin hitam dan gambar simbol ini,” jawab bayangan sambil menggambar simbol aneh di udara menggunakan jarinya.
Clara tahu bahwa ritual itu harus dilakukan sebelum fajar menyingsing atau neneknya akan terjebak selamanya. Dengan tekad bulat, dia mencari lilin hitam di seluruh rumah sambil terus mendengarkan suara bayangan neneknya yang membimbingnya.
Setelah beberapa saat mencari, Clara menemukan lilin hitam tua di lemari kayu tua di ruang bawah tanah. Dengan hati-hati, dia membawa lilin tersebut kembali ke ruang tamu dan menyiapkan semua bahan sesuai petunjuk dari bayangan neneknya.
Saat dia selesai menggambar simbol di lantai dengan kapur putih, waktu terasa semakin mendesak. Dia menyalakan lilin hitam dan mulai mengucapkan mantra yang telah dia ingat dari cerita neneknya. Suasana menjadi tegang; angin bertiup kencang meskipun semua jendela tertutup rapat.
Ketika mantra terakhir terucap, cahaya lilin menyala terang seolah melawan kegelapan malam. Cermin bergetar hebat, dan bayangan neneknya mulai muncul lebih jelas dari dalam cermin.
“Bebaskan aku!” teriak bayangan itu dengan suara penuh emosi.
Clara merasakan getaran kuat dalam dirinya saat dia melihat wajah neneknya penuh harapan dan rasa sakit. Dia melangkah maju dan meraih cermin dengan kedua tangan.
Dengan satu tarikan napas dalam-dalam, Clara menerobos batas antara dunia nyata dan dunia cermin. Dia merasakan dinginnya kaca menyentuh kulitnya saat dia menarik neneknya keluar dari kegelapan.
Dalam sekejap mata, cahaya terang memenuhi ruangan dan semuanya menjadi hening. Ketika cahaya mereda, Clara menemukan dirinya berdiri sendirian di ruang tamu kosong tanpa cermin atau bayangan neneknya.
Dia merasa hampa tetapi lega sekaligus; neneknya akhirnya bebas dari belenggu kegelapan. Namun saat dia berpaling untuk pergi ke kamar tidurnya, dia melihat sekilas refleksi dirinya di dinding kosong—sebuah senyuman lebar muncul di wajahnya sendiri.
Clara merinding ketika menyadari bahwa senyuman itu bukan miliknya—itu adalah senyuman bayangan neneknya yang kini hidup dalam dirinya selamanya.