Flash Fiction
Disukai
0
Dilihat
170
Mom's Fiftieth Birthday
Drama

Jeha menyapukan pandangan ke sekeliling. Senyumnya mengembang dan sepasang tangannya ditepukkan dua kali. Kepuasannya terhadap kerja kami dua belas jam belakangan tak berusaha ia sembunyikan sama sekali.

Ruangan serba putih yang sebelumnya polos tak lagi kosong. Bunga-bunga berwarna lembut terangkai cantik, mengisi sudut-sudut. Meja bundar yang cukup besar di tengah ruangan hampir penuh oleh piring-piring dan nampan bertingkat berisi berbagai makanan manis. Puluhan balon berwarna pastel mengambang di langit-langit dengan ujung tali yang mengikat kertas bertuliskan harapan-harapan dari kami untuk tokoh utama hari ini.

Aku yang berdiri di sebelah Jeha melipat tangan ke depan dada, mengembuskan napas kuat-kuat. "Lima puluh tahun. Mama telah hidup selama lima puluh tahun dan ini adalah pesta ulang tahun pertamanya. Begini pun, pasti nanti Mama akan bilang, 'Raili, bukankah ini terlalu berlebihan?'"

Jeha mengangguk yakin. Kedua sudut bibirnya belum turun. "Wanita sekuat dan sehebat Mama pantas mendapatkannya. Sama sekali tidak berlebihan."

"Kau berpikir begitu?"

"Memangnya kau tidak?"

Aku menggeleng. "Menurutku, daripada pesta ulang tahun, Mama lebih suka masa mudanya dikembalikan."

Jeha tertawa hambar, "Tidak mungkin..., kan?" dengan nada bicara ragu-ragu. "Mama selalu mencintai kita. Mama sendiri yang bilang kalau kita lah yang telah menguatkan Mama hingga mencapai titik ini. Kita adalah sosok berharga bagi Mama."

"Kau mempercayainya?"

Jeha mengangguk sekali, terdiam sejenak sebelum melontarkan pertanyaan, "Salah, ya?"

"Tidak salah jika kau berpikir bahwa kita lah bahagianya Mama. Tetapi, entah mengapa tiba-tiba saja aku berpikir untuk menolak hidup seperti Mama. Menurutku terlalu em ... menyakitkan."

"Kau tidak ingin menjadi ibu?"

"Bukan begitu juga! Hanya saja, jikalau menjadi ibu artinya harus menjalani hidup seperti ketika Mama membesarkan kita, aku tidak mau."

"Kenapa? Apakah karena Papa? Bukankah papa kita sangat baik?"

"Tentu, papa kita adalah papa yang baik, sangat baik, setidaknya bagi kita, anak-anaknya. Tetapi tidak untuk Mama." Aku menghembuskan napas berat. "Apa kau ingat ketika usiamu tujuh dan aku dua belas? Pagi-pagi kita ribut dengan hari pertama masuk sekolah. Mama sibuk ini-itu, sedangkan Papa duduk di ruang makan setelah selesai dengan urusannya, menunggu kita siap untuk berangkat bersama. Kejadian seperti itu terus berulang bertahun-tahun sampai kau lulus sekolah menengah. Betapa lelahnya.

"Ingat ketika kau kelas tiga dan aku kelas sembilan? Sering kali kita ikut Mama ke pasar tiap akhir pekan untuk minta jajan berkedok bantu bawa belanjaan. Dan ketika kita memilih untuk tidak ikut, Mama akan menenteng belanjaan itu sendirian. Padahal Papa libur di akhir pekan.

"Itu hanya hal-hal receh yang terlintas di benakku sekarang. Jika diingat lebih jauh, masih ada banyak hal yang dilakukan Mama sendirian tanpa campur tangan Papa. Tentu saja tidak semua tentang Papa itu buruk. Papa tidak pernah mengekang Mama. Hampir semua keinginan Mama di-iya-kan. Bahkan aku sampai curiga, apakah itu murni bagian dari pengertian atas nama cinta atau bentuk daripada ketidakpedulian."

"Kak Raili, bukankah kau terlalu banyak berpikir?"

"Ya, mungkin aku memang terlalu banyak berpikir."

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi