Perempuan itu duduk sendirian di Galeri Nasional, matanya terpaku pada patung perunggu karya maestro Edo Sunarsi. Seorang ibu menggendong bayi, detail-detailnya begitu hidup sampai Jeni bisa melihat lipatan-lipatan kulit sang bayi yang menggemaskan.
"Jangan lihat anak kecil, jangan ngobrol tentang anak, apalagi ngomongin pengen punya anak," begitu mantra yang selalu dia ucapkan dalam hati. Di usia 35 tahun, status jomblo sudah kayak cap merah di jidatnya. Apalagi di kampung halamannya di Yogyakarta, di mana tetangga hobi nanya "Mbak Jeni kapan nikah?" dengan nada yang bikin dia pengen lempar sendal.
Tiap Jumat, selepas kerja setengah hari di firma hukum, Jeni mampir ke galeri ini. Bukan untuk nyari jodoh, tapi karena patung itu seolah magnet untuk hatinya yang kesepian. Kadang dia berpikir, mungkin lebih enak jadi patung - nggak perlu ngerasain sakit hati tiap lihat status teman-teman yang pamer foto anak mereka di medsos.
"Mbak, kalau patungnya bikin sedih kenapa diliatin terus?"
Jeni kaget. Suara serak-serak basah itu milik lelaki kurus dengan kemeja batik kusut yang kayaknya belum disetrika sejak dibeli.
"Mas ini siapa ya?" tanya Jeni, setengah ketus.
"Waduh, saya malah belum ngenalin diri ya?" Si lelaki nyengir. "Nama saya Bagas. Saya guide di sini, tapi lagi istirahat."
"Oh..." Jeni nggak tau harus ngomong apa. Biasanya dia jago menghindar dari obrolan begini.
"Patung ini karya tahun 70-an," kata Bagas. "Tapi kayaknya mbak bukan sedih gara-gara patungnya deh..."
Jeni diam. Rasanya seperti ketahuan mencuri mangga.
Jeni mengusap lengannya pelan, nggak tau kenapa tiba-tiba jujur sama orang asing. "Dulu saya pikir hidup itu kayak naik eskalator - tinggal tunggu waktu. Ternyata buat sebagian orang kayak saya, hidupnya lebih mirip lift rusak. Mandek. Pengen punya anak, tapi... ya gitu."
"Oalah..." Bagas manggut-manggut. "Mbak tau nggak patung di sebelah sana? Yang tentang perjuangan kemerdekaan? Itu ceritanya..."
"Mas," Jeni motong. "Nggak usah hibur saya."
"Siapa yang menghibur? Saya cuma mau cerita kalau patung itu dibuat sama seniman yang istrinya nungguin 8 tahun sebelum bisa punya anak. Pas anaknya lahir, dia bikin patung ini." Bagas menunjuk ke arah patung ibu dan anak di depannya. "Makanya detailnya bagus banget. Itu patung pertama yang dia bikin setelah jadi bapak."
Jeni tertegun.
"Btw, saya bohong. Saya bukan guide di sini," kata Bagas sambil tertawa. "Saya dokter spesialis kandungan yang lagi riset buat disertasi tentang pengaruh seni terhadap kesehatan mental calon ibu."
Jeni melotot kaget, antara pengen marah dan ketawa. Tapi sebelum sempat ngomong apa-apa, Bagas udah nambahin:
"Dan itu juga bohong. Saya cuma tukang maintenance AC yang kebetulan suka baca buku sejarah seni. Mau minum kopi?"
Untuk pertama kalinya sejak entah kapan, Jeni tertawa lepas. Mungkin memang benar kata orang, kadang takdir datang pas kita udah capek nungguin.
Sebulan kemudian, Jeni kembali ke galeri itu dengan cincin emas di jari manisnya.