Waktu menarik langkahku kembali pada suatu tempat di mana aku terakhir kali menatapnya. Jauh sebelum surai ini memanjang, aku meluruhkan haru juga air mata. Guna membiarkan mimpinya terwujud, kubiarkan ia pergi menjemput cita. Pada bandara aku menyimpan asa. Berharap semesta menjaga raga yang kucinta. Semenjak hari itu, aku menitipkan satu nama pada semesta untuk memudahkan jalannya. Dan kini, aku kembali berpijak dengan tujuan menjemput ia yang telah lama pergi.
Semilir angin menyambut hangat, menyapu wajahku dengan begitu lembut, membuat indra penglihatan sedikit terhalang sebab ditutupi oleh beberapa helai rambut. Jemari rantingku perlahan terangkat, menyelipkan helaian tersebut di sela-sela daun telinga.
Kembali melanjutkan langkah, lengkungan pun ikut serta merekah, menjadi pemanis tepat di kedua sisi wajah. Kusapu setiap sudut wilayah ini dengan membiarkan netra legamku menari ke segala arah. Hingga pada menit ketiga, fokusku terpusat pada siluet laki-laki di penghujung sana. Jarak kami tak jauh jika kubayangkan, hanya berkisar lima meter dari tempatku berdiri. Lagi-lagi, senyumku merekah bak bunga sakura di musim semi.
Tak ingin membuang waktu lebih lama, aku segera menghampiri siluet hitam di sana. Sedikit berlari guna lekas bertemu dengan sosok yang telah lama tak kusapa. Batinku menjerit meski tak bersua, ingin bagiku mendekap raga yang sejak dahulu kunanti kepulangannya.
Jarak kami kian terkikis, mungkin hanya tersisa satu meter sampai aku dapat menepuk bahunya. Namun langkah ini terpaksa terhenti karena tak kusangka seorang perempuan muncul dari balik punggung bidang itu. Keduanya belum menyadari eksistensiku namun dengan jelas aku mendengar percakapan di antara mereka.
Sosok yang sudah kurindukan sejak lama itu kini membuka suara, "Anin, kita ke rumahku dulu, ya?"
Oh... Anin ya namanya? Senyumku sedikit memudar, melihat ia meraih tangan perempuan lain lalu menggenggamnya dengan penuh kelembutan.
Kedua sosok itu perlahan membalikkan badan. Waktu seolah terhenti sepersekian detik tatkala netra kami terpaut. Atmosfer di sekitar pun terasa berubah saat raga kami saling berhadapan. Sempat tercipta keheningan untuk beberapa saat.
Atensiku tertuju pada tatapan teduh miliknya yang tak lekang dimakan waktu, masih sama seperti hari itu. Ditatapnya diriku yang tengah berdiri seraya memeluk setangkai bunga.
"Serana? Apa itu kau?"
Sungguh, aku sangat ingin berlari. Bahkan jika memungkinkan, aku ingin segera menghilang dari bumi. Namun di luar rasa malu, tak dapat dipungkiri jika aku ingin berlari ke arahnya. Aku kalah, sorot teduh itu tiada jeda menatapku, dan diriku... Kembali jatuh cinta.
Sebelum menjawab, aku melirik perempuan yang masih setia berdiri di sampingnya, juga dengan genggaman tangan yang hingga kini belum terlepas.
"Iya, Dean. Aku ke sini karena ingin menjemput seseorang." Andai Dean tahu bahwa 'seseorang' itu adalah dirinya.
Sang pemilik nama kembali membuka suara, "Oh, apakah itu kekasihmu?"
Mungkin Dean bertanya seperti itu lantaran ia melihat bunga yang kubawa. Tapi tidakkah ia menyadari jika mawar putih ini tertuju untuknya? Aku menggeleng lemah. Tak tahu harus merespons seperti apa.
"Apa kabar, Serana? Sudah lama tak berjumpa."
Sedikit memaksakan senyum, aku kembali mengadah demi menyamai tubuhnya yang menjulang tinggi. "Baik," jawabku.
Ia mengangguk lalu menoleh ke samping. "Oh ya, Anin. Ini temanku, Serana."
Rupanya harapanku terlalu melambung tinggi hingga berharap Dean tak memperkenalkanku seperti itu. Teman? Tapi bagaimana pun, Dean tak salah sebab kami memang hanya sebatas teman.
Perempuan yang diyakini bernama Anin itu mengukir senyum ke arahku. Manis sekali.
"Oh, hai? Serana, ya? Dean cerita banyak tentang kamu."
Aku membalas jabatan tangan itu, "Selamat ya."
Yang diberi selamat mengerutkan kening. "Selamat untuk apa?"
Aku juga sama herannya, "Bukankah kalian kini sepasang kekasih?"
Anin tertawa, juga dengan Dean. Laki-laki itu kembali menatapku, "Tidak. Kau salah paham. Kami bukan kekasih, Anin adalah sahabatku selama aku menetap di London."
Oh begitu, ya? Jadi mereka tidak menjalin hubungan apa-apa.
"Maaf, aku kira kalian adalah..."
"Sudah tidak apa-apa. Mari ikut bersama kami. Kau juga sudah lama tidak berkunjung ke rumah, kan, Serana?"
Entah mengapa desiran aneh tercipta tatkala Dean menyebut namaku dengan nada halus tersebut. Lantunan kata demi kata yang tersusun rapi menjadi sebuah tanya itu masuk ke telingaku dengan sangat sopan.
"Tapi tunggu, lantas bagaimana dengan seseorang yang ingin kau temui?"
"Ah... Itu, ya? Sepertinya aku salah jadwal, mungkin ia akan pulang lusa." Gerak gerik tubuhku tertangkap aneh di penglihatan Dean, mungkin? Entahlah, ia tertawa saat aku menuntaskan kalimat.
Detik selanjutnya, ia mengacak-acak puncak kepalaku dengan gemas. Tubuhku mematung selama beberapa saat. Sudah lama aku tak bereaksi seperti ini. Nyatanya ia tetap menjadi Dean yang kukenal, Dean yang kutemui di masa putih abu.