Flash Fiction
Disukai
0
Dilihat
43
Aurora di Petala Langit
Romantis

“Kamu harus percaya, Ara,” kata Bahri suatu malam sebelum keberangkatannya. “Setiap pelaut butuh cahaya untuk pulang. Aku punya auroraku sendiri. Dan itu adalah kamu.”

Untuk pertama kalinya Ara akan ditinggal sang pujaan hati. Pergi jauh ke benua orang. Mencari harta karun dengan melewati badai kencang dan ombak raksasa. Terbesit rasa cemas di hati Ara. Tapi Bahri dengan sangat yakin sudah membuat janji itu. Dia bertekad untuk menjadi penunjuk pulang untuk Bahri lewat pintanya kepada Tuhan.

Waktu berlalu tanpa detak. Dingin. Surat yang dikirim Bahri mulai jarang datang. Satu per satu ombak mengikis harapan Ara, meninggalkan ruang kosong yang perlahan dipenuhi rasa takut. Suara jilatan ombak yang terbentur permukaan karang pantai bagaikan cibiran yang selalu menghantui dirinya. Apakah jangkar rasa yang tertanam di hatinya hanyalah ilusi? Atau Bahri memang telah menjadi bagian dari laut, menghilang bersama riak yang tak pernah kembali?

Siang dan malam terus berulang. Dan tidak satupun Ara melewatinya tanpa berharap cahayanya dapat sampai kepada Bahri dan menjadi penunjuk arah pulang bagi dirinya.

Semakin lama, kian banyak orang di desa itu yang mulai membicarakan nasib Ara. Beberapa pelaut yang pernah berpapasan dengan kapal milik Bahri di tengah lautan bahkan lebih banyak memberikan kabar yang tidak mengenakkan. Membuat kesabarannya untuk menunggu semakin menipis. Tapi setiap pagi dan malam, pinta itu tidak pernah berhenti. Hingga cahaya itu benar-benar menuntun Bahri untuk kembali.

Tahun demi tahun berlalu. Hari ini, kabar datang dari seseorang di pasar. Sebuah kapal telah bersandar setelah bertahun-tahun melaut. Di antara awak kapal, disebut-sebut ada nama yang pernah ia tunggu—Bahri. Ara tak tahu harus merasa apa. Harapannya seperti rantai kapal yang lama terbenam, tertarik ke permukaan begitu cepat hingga membuatnya gamang.

Malam turun perlahan, menyingkap tabir langit yang dipenuhi cahaya bintang. Ara masih berdiri di dermaga. Angin laut berembus lebih dingin dari biasanya. Dan kemudian, langkah-langkah berat mendekat.

“Ara?” suara yang begitu ia kenal menggetarkan udara di sekitarnya.

Ia berbalik, dan di sana, di bawah cahaya lampu dermaga, berdiri seseorang yang telah lama ia nanti. Bahri tampak lebih tua dari yang ia ingat. Rambutnya sedikit memutih di sisi pelipis, dan ada garis-garis lelah di wajahnya. Namun, matanya masih sama—mata yang selalu mencari arah pulang.

“Kau benar-benar ada di sini,” suara Ara lirih, hampir tak percaya.

“Aku selalu mencoba pulang,” jawab Bahri. “Tapi laut tak pernah memberi jalan yang mudah.”

Ara terdiam. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan, banyak luka yang ingin ia tunjukkan. Tapi di saat yang sama, ada sesuatu yang lebih besar dari semua itu. Yaitu keyakinan. Keyakinan bahwa mereka masih memiliki kesempatan. Bahwa bahtera yang dulu karam bisa kembali berlayar.

Bahri melangkah lebih dekat. “Masihkah kamu ingin melihat aurora bersamaku?”

Langit malam berpendar. Di kejauhan, cahaya utara mulai menari di petala langit. Seperti takdir yang kembali berpihak, seperti doa yang akhirnya dijawab oleh semesta.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Ara tersenyum. “Aku selalu menunggumu, Bahri.”

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Rekomendasi