Flash Fiction
Disukai
0
Dilihat
183
Santap Malam Terakhir
Horor
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

Lihatlah betapa cantiknya dia!

Aku menepuk tangan setelah lilin merah di tengah meja menyala lembut. Lalu, decak kagum kuhaturkan tatkala menatapnya, sosok anggun itu, wanita yang duduk di depanku. Aku mengangguk khidmat. Dia memang wanita paling rupawan yang pernah kutemui.

Dalam temaram, masih dapat kulihat rahangnya yang tirus, bibir berbentuk hati yang menggoda, kedua alis yang rapi sebagaimana bulan sabit.

Oh, jangan lupakan kedua mata hazelnya, yang seolah dapat menelan siapa saja yang menatapnya. Pun rambut hitamnya, yang ketika terpancar cahaya lilin, berkilauan bak danau di germerlapnya malam.

Kudekati dia. Dengan nafsu bergelora, wajahku menuju lehernya, mengendus wangi parfumnya. Lalu, kubelai lembut anak rambutnya, menariknya ke arah hidung, menikmati aroma manis samponya. Sempurna. Benar-benar manifestasi kesempurnaan yang nyata!

Lantas aku tertawa renyah. Segala persiapannya sudah matang. Ini akan menjadi makan malam paling spesial yang akan kukenang seumur hidup.

Kuperhatikan sekitaran meja makan, memastikan tiada yang terlewat. Segalanya memang sudah tersusun rapi dan mantap. Stik daging setengah matang—favoritnya; kentang rebus, wortel, dan buncis; hingga saus spesial buatan sendiri. Semuanya masih hangat dan tampak lezat.

Namun, sekonyong-konyong aku merengut, lalu berdecak kesal. Betapa hinanya aku karena melupakan sesuatu yang penting. Makan malam ini belumlah lengkap jika tidak ditemani anggur terbaik di kota, yang katanya sudah disimpan selama ratusan tahun.

Tak sabaran aku menuju dapur, memeriksa lemari yang kuyakini tempatku menyimpan minuman terbaik itu. Aku menyeringai tatkala mendapatkan yang kucari. Sambil bersenandung—yang terdengar bagai nyanyian kematian, kubawa botol anggur itu menuju meja makan.

Namun, bagaikan ada pasak yang menembus kedua kakiku, seketika aku membeku. Mataku memelotot, gamang, tak percaya dengan pemandangan di depanku.

Dia tidak ada di sana!

Wanita itu, pemeran utama dalam perayaan malam ini, tak lagi berada di tempat yang semestinya.

Ini aneh. Benar-benar aneh.

Aku yakin bahwa dia tidak mungkin bisa ke mana-mana. Aku berani menjamin—dengan nyawaku sendiri—mustahil baginya untuk menghilang. Bahkan untuk menggerakkan tangan pun, seharusnya dia sudah tidak bisa.

Dengan tangan bergetar, kuletak botol anggur di atas meja. Kutatap lekat kursi bekas duduknya wanita itu. Dalam dadaku bergemuruh. Muram durjaku, merah, bercampur amarah. Berlutut aku di sebelah kursi itu, mengendus aromanya yang tertinggal, mengikuti arahnya memudar. 

Pandanganku jatuh ke arah kamar tidurku. Kudekati ruang itu, membuka pintunya. Kondisinya masih tampak sebagaimana terakhir kali aku meninggalkannya. Kutelusuri sudut-sudutnya, kubuka lemari-lemarinya, semuanya.

Tetap saja aku tidak menemukannya.

Aku meringis. Kuperhatikan ranjang yang di atasnya berserakan pakaian wanita beraneka jenis dan warna. Kudekati ranjang itu, mengambil salah satu piyama, mengendusnya. Seharusnya, seusai santap malam, akan kudandani dia dengan piyama ini sebelum kutiduri.

Lantas aku mengerang, keras dan parau. Kuremas erat piyama itu, melemparnya, menginjak-injaknya.

Hasratku sudah tak dapat lagi terbendung. Segala persiapanku, yang telah kulakukan sepenuh hati, seharusnya berjalan sempurna. Namun, segalanya terancam gagal karena pemeran utamanya telah lenyap entah ke mana.

“Di mana dia?!” teriakku. “Mana wanita itu?!”

Dengan langkah besar dan tak sabaran, aku menuju kamar mandi. Kubuka kasar pintunya. Bercak-bercak merah menyambutku, disertai aroma menusuk. Aku bergeming, memandang nanar, mengepal sebelah tangan.

Dia yang kucari tak juga tampak batang hidungnya.

Aku melangkah masuk, mengarungi bercak-bercak merah yang ternyata tak kunjung mengering. Kulirik wastafel, yang di dalamnya berisi jarum melengkung, gunting, dan gulungan benang. Aku tak mempedulikan benda-benda itu, fokusku hanya pada satu titik di ujung sana.

Kusibak tirai yang menutupi bak mandi. Dia tidak ada. Tubuhnya tidak ada di situ, hanya isi-isinya, yang sengaja kusimpan untuk nanti kuawetkan sebagai koleksi spesial.

Gejolak dalam dadaku kian menjadi-jadi. Sekujur badanku terasa panas. Kuremas kuat ujung tirai hingga getaran tanganku tampak kentara sekali.

“Di mana dia?!”

Sekonyong-konyong, embusan angin menggelitik tengkukku. Aku meremang, sigap berbalik badan untuk hanya menyaksikan kehampaan.

Lalu, suara itu mendadak muncul. Pelan, perlahan, dengan ritme beraturan. Garis romanku menegang. Kutahu dengan pasti suara itu, dari mana asalnya, yang seharusnya mustahil terdengar sebagaimana mustahilnya wanita itu menghilang.

Kutelan ludah. Sekujur badanku terasa berat, tapi aku tetap berusaha menoleh, demi memastikan kemustahilan itu hanya ilusi.

Suara itu semakin bergema seiring aku berbalik badan. Semakin pula ritmenya menjelma cepat, lalu berhenti tepat saat mataku membelalak ke arahnya. Ke arah jantung itu, yang sedari tadi kuyakini ialah yang berdetak.

Aku menahan napas. Sengaja tak mengedip mata agar dapat terus memandangnya, memastikan bahwa kegilaan yang terjadi padaku tidaklah nyata. Kuatur ritme napasku yang semakin tak beraturan. Tenang, aku mencoba tetap tenang, menepis segala pikiran-pikiran buruk.

Kukira, aku sudah bisa bernapas lega karena jantung itu tak umpama hanyalah seonggok daging tak bernyawa. Namun, segala kelegaan itu seolah meremas jantungku sendiri.

Jantung itu mulai bergerak dan berdetak dan gema suaranya seperti menghina tubuhku yang kini bergetar hebat. Sontak aku terjengkang, punggungku menabrak pintu yang tertutup.

Sejak kapan ia tertutup?

Aku meraung, kalut, kepanikan seolah siap melahapku hidup-hidup. Kubanting tubuh menjauh dari pintu, tapi tak kuasa mendekat pada jantung itu, yang kini berdetak penuh nista. Maka kugapai ujung wastafel, menahan tubuh yang nyaris roboh.

Napasku kian sesak seiring kepalaku yang rasanya dapat meledak kapan saja.

Tidak.

Mustahil.

Semua ini tidak nyata!

Kutatap pantulan wajahku pada cermin di atas wastafel. Kutarik napas dalam-dalam, mengembusnya sekuat mungkin.

Kupejam mata agar ritme napasku dapat normal dengan cepat. Lalu, ketika kumantapkan diri dan membuka mata, aku menyeringai. Akhirnya, kutemukan kembali dia—wanita idamanku!

Refleks aku berbalik badan, berniat merengkuhnya. Tapi, dia tak ada di sana. Dia ada di belakangku, berbisik padaku,

“Waktunya makan … Sayang.”[]

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Rekomendasi