Tangan Rara mencengkeram kuat buku tulis bersampul biru dan bergambar bunga. Sambil menundukkan kepala, dia keluar kelas setelah mendapatkan nasihat dari Bu Nunik, wali kelas 5A.
"Ceritamu masih jauh dari sempurna, Rara. Masih kurang detail. Konflik tokohnya kurang diperdalam. Perbaiki lagi ceritamu, besok bawa lagi ke meja Ibu," begitulah kata-kata Bu Nunik sebelum Rara keluar dari kelasnya.
Rara memeluk buku tulisnya sambil menengadah ke atas langit. Dia tak tahu Bu Nunik akan mengkritik ceritanya seperti itu. Walaupun Rara satu-satunya anak yang ikut lomba cerpen nasional, tetapi Bu Nunik ingin agar Rara bisa menulis cerpen yang benar, bukan untuk tujuan menang.
Sekembalinya ke kelas, Rara bertemu dengan Ayra dan Siska, sahabat lamanya yang audah menunggunya untuk makan bekal bersama.
"Bagaimana, Ra, ceritamu diterima?" tanya Siska.
"Belum, Sis, masih jauh dari sempurna katanya Bu Nunik," kata Rara sambil meletakkan bukunya dan mengambil bekal.
"Tidak apa-apa, Ra! Ayo semangat. Bulan lalu, aku juga mengalami hal yang sama. Aku ikut lomba tari dan berlatih sepanjang hari. Aku juga selalu dimarahi Mbak Dian, guru les tariku, karena gerakanku kurang luwes. Tapi akhirnya pada saat lomba, aku menang juara 3. Usaha tidak mengkhianati hasil, kan, Ra?" cerita Ayra.
Ketiganya pun duduk di kursi teras luar kelas. Sambil makan, mereka juga sambil bercerita.
"Tenggat pengumpulan ceritanya kapan, sih, Ra?" tanya Ayra.
"Kalau tidak salah... Jumat depan," sahut Rara sambil mengunyah.
"Oh, begitu. Jangan menyerah, ya, Ra. Aku tahu kamu pasti bisa. Di kelas, kamu terkenal sebagai penulis cerpen paling baik. Kamu pasti bisa!" kata Ayra lagi.
"Terima kasih, Ay," sahut Rara.
"Cerpenmu tentang apa, sih, Ra?" tanya Siska sambil menggigit sosis.
"Tentang persahabatan di dunia maya."
"Wah, Ra, kamu hebat sekali. Aku saja tidak tahu apa yang dimaksud 'dunia maya'. Kamu lebih hebat daripada aku. Kemampuanmu luar biasa!"
"Ah, jangan terlalu memuji, dong, Sis. Aku masih harus memperbaiki ulang ceritaku. Lalu, membawanya lagi besok. Perjalananku masih panjang, teman-teman. Bisa saja nanti aku tidak menang."
Siska menghibur Rara dengan mengatakan bahwa dia pasti juara. Rara hanya tersenyum dan berharap. Dia tahu, teman-temannya sangat mendukungnya. Rara berjanji akan berusaha semampunya agar bisa membawa pulang gelar juara.
***
Seminggu telah berlalu. Hari ini adalah hari Kamis. Tenggat pengumpulan karya cerpen adalah besok. Rara berusaha sekuat tenaga supaya bisa menghasilkan cerpen yang terbaik. Bu Nunik juga siap di sampingnya, untuk memberikan dorongan dan arahan.
"Okelah, sudah jauh lebih sempurna," komentar Bu Nunik sesudah membaca cerpen Rara untuk yang kesekian kalinya. "Nanti, Ibu kumpulkan cerpenmu ke panitia. Kamu berdoa saja, ya, Nak, supaya mendapatkan juara. Ibu kagum dengan semangat dan kemampuanmu. Ibu berharap kamu bisa mendapat juara."
Rara hanya mengangguk. Bu Nunik menyalin cerpen Rara ke ponselnya. Kemudian, dia mengutak-atik ponselnya sementara Rara hanya berdiri mematung di sampingnya.
"Baik, Rara, kamu boleh kembali ke kelasmu."
"Bagaimana dengan cerpen saya, Bu?"
"Cerpenmu sudah Ibu kirim. Kamu kembali ke kelas saja. Jangan lupa berdoa, ya, Rara. Nanti kalau sudah pengumuman pemenang, Ibu akan beritahu kamu."
Rara mengambil bukunya dan pergi ke kelasnya. Hari itu, Ayra tidak masuk, maka Siska yang menyambut kedatangannya di pintu.
"Bagaimana? Berhasil?" Siska bertanya lembut.
"Ya," Rara menjawab singkat.
"Cerpenmu sudah dikirim?"
"Sudah, dong. Katanya Bu Nunik, kalau pengumuman pemenang sudah tiba, beliau akan beritahu aku."
"Semangat, ya, Ra. Kudoakan semoga kamu meraih juara satu. Aku tetap akan mendukungmu."
Rara diam saja. Dia mengalihkan topik pembicaraan dengan mengajak Siska ke kantin. Mereka makan bekal dengan sukacita.
***
"Permisi, apakah ini kelasnya Rara?" sebuah suara menyapa di balik pintu kelas.
Pak Dimas, wali kelas Rara, segera membukakan pintu. Terlihat sepotong kepala melongok ke dalam. Rupanya itu Bu Nunik.
"Cari siapa, Bu?" tanya Pak Dimas.
"Rara," Bu Nunik menanggapi.
"Oh, Rara, kamu dipanggil Bu Nunik, nih!" Pak Dimas berseru.
Rara buru-buru meletakkan penanya dan melangkah ke kusen pintu. Dia mencium tangan Bu Nunik dan meminta izin pada Pak Dimas untuk keluar sebentar.
"Ada apa, Bu Nunik?" Demikianlah pertanyaan Rara.
"Nak, pemenang sudah diumumkan. Ibu hendak menyampaikan dua kabar untukmu. Salah satunya kabar buruk," ucap Bu Nunik, berusaha agar ekspresinya tetap tenang.
"S... saya tidak menang, ya, Bu?" tebak Rara. Jantungnya sudah berdebar kencang.
"Benar, Rara. Kamu tidak juara. Tapi ada kabar baik pula. Kepala sekolah telah membaca ceritamu. Beliau ingin cerpenmu dipajang di majalah sekolah. Kemudian, ceritamu juga akan dipajang di media sosial sekolah. Bagaimana?"
"Wah, saya merasa terhormat," Rara tersenyum senang. "Tak apa saya tidak juara, Bu, yang penting cerpen saya jadi terkenal. Saya butuhnya itu, Bu. Hadiah, kan cuma hiburan."
Atas izin Rara, tim majalah sekolah mempublikasikan cerpen itu ke majalah sekolah edisi terbaru. Saat Ayra dan Siska membaca majalah tersebut, mereka tersenyum senang mendapati cerpen Rara yang terpajang di situ. Mereka tahu, Rara tidak memenangkan lomba. Tetapi cerpennya akan selalu setia dibaca para murid di sekolah itu, walaupun hanya melalui majalah sekolah.