Pagi ini, Yuni berangkat sekolah seperti biasa. Dia naik sepeda dan menenteng tas bekalnya. Memang menyenangkan bersepeda ke sekolah dengan cuaca secerah itu.
"Selamat pagi..." Yuni menyapa setiap pejalan kaki yang lewat. Hal itu membuat para pejalan kaki balas menyapa, atau bahkan sekedar melambaikan tangan dan tersenyum.
Ketika Yuni sampai ke perempatan dekat sekolah, dia melihat seorang gadis kecil berambut acak-acakan. Yuni menghentikan sepedanya dan menyapa gadis kecil itu.
"Hai, namamu siapa? Aku Yuni," kata Yuni dengan ramah, sambil mengulurkan tangannya.
Akan tetapi, si gadis malah cuek dan tidak membalas uluran tangan Yuni. Dia buru-buru menjauhi Yuni. Seketika, Yuni menjadi heran. Dia ingin mengejar gadis itu, tapi takut terlambat ke sekolah. Maka, Yuni mengurungkan niatnya dan mengayuh sepedanya menuju sekolah.
Di kelas, Yuni bercerita mengenai gadis kecil itu kepada Lisa, sahabat setianya. Ternyata, Lisa mengetahui siapa gadis kecil itu.
"Namanya Bela," kata Lisa sambil memainkan rambutnya yang ikal.
"Setahuku, Bela tidak punya ayah maupun ibu. Dia tinggal sendiri. Rumahnya sudah disita oleh bank. Aku sering berpapasan dengannya. Bela tak mau bicara dengan siapa pun, dan dia selalu berkeliling ke rumah-rumah untuk meminta uang atau makanan. Bahkan, Bela pernah mengunjungi rumahku. Dia mengulurkan tangan dan memberi isyarat agar kami memberinya sesuatu. Dengan segera, ibuku dan abangku memberinya roti serta uang."
"Apakah Bela itu bisu? Mengapa dia tak mengucapkan sepatah kata pun?" tanya Yuni.
"Entahlah. Yang jelas, dia itu tidak pernah mengeluarkan suara apa pun. Aku sebenarnya merasa kasihan padanya dan ingin berteman, tapi setiap kali kuajak mengobrol, dia selalu menghindar," lanjut Lisa.
Yuni tertegun. Dalam hati, dia merasa iba pada Bela. Dia ingin berbuat sesuatu kepadanya. Yuni memutar otak dan mencari cara agar bisa berteman dengan Bela.
"Yun?" panggil Lisa sambil menepuk bahu temannya.
"Eh, ada apa?" Yuni terkejut.
"Bu Guru sudah datang, tuh. Jangan melamun terus, dong," kata Lisa sembari mengeluarkan buku tulis dari dalam tasnya.
Terburu-buru, Yuni duduk tegak dan mengeluarkan buku pelajaran. Dalam otaknya, masih terbayang wajah Bela.
***
Usai melaksanakan piket kelas, Yuni mengambil sepedanya dan pulang ke rumah. Dalam hati, dia berharap bertemu dengan Bela.
Tiba-tiba, sepeda Yuni menabrak sebongkah batu. Otomatis sepeda itu terjungkal dan menyebabkan si pengemudi langsung terlempar ke tanah. Yuni terpekik kaget, dan dia roboh ke belakang. Kedua kakinya tertindih sepeda.
"Aduh, aduh..." Sambil menahan rasa sakit, Yuni mencoba bangkit. Dia mengangkat sepedanya, lalu menariknya ke pinggir jalan supaya tidak menghalangi kendaraan yang lewat.
Lutut sebelah kanan Yuni terluka. Darahnya menetes ke tanah. Gadis itu merintih, dan mencoba berdiri tegak. Yuni terpaksa mengelap luka dengan lengan bajunya karena dia tidak membawa tisu.
"Hei, Kak!" terdengar suara dari depan Yuni. Anak itu menoleh, dan rupanya ada seorang gadis kecil yang berdiri kira-kira dua meter di hadapannya. Rambutnya berkibar. Dialah Bela!
"B... Bela?" tanya Yuni.
Tanpa berkata apa pun, Bela pun menghampiri Yuni. Dia berjongkok di hadapan anak itu, dan dengan cepat mengeluarkan sebuah botol dan selembar tisu. Diserahkannya kedua benda itu pada Yuni.
"Ini untuk Kakak," Bela berkata.
"Terima kasih," sahut Yuni. Dia pun menerimanya dengan heran, lalu mengoleskan obat luka itu di atas lututnya. Terasa agak perih, tapi Yuni berusaha agar tidak menjerit.
"Maaf, ya, Kak, aku agak kasar tadi pagi," ucap Bela. "Namaku Bela."
"Tidak apa-apa kok, Bela. Aku tahu kalau kamu malu. Namaku Yuni."
Bela tersenyum. Dia memilin-milin rambutnya yang acak-acakan, dan merapikan bajunya yang lusuh.
Setelah agak baikan, Yuni bersiap pulang ke rumah. Sebelumnya, dia sempat memberi Bela sebatang pensil dan buku tulis baru.
"Untuk apa ini, Kakak?" tanya Bela dengan bingung.
"Untuk kamu belajar, Bela. Aku tahu selama ini kamu menginginkan hal itu. Kamu ingin jadi pintar, bukan? Ambillah buku itu, dan catat apa saja yang ada dalam memorimu," kata Yuni dengan lembut.
"Terima kasih, Kak Yuni. Aku akan menggunakan buku ini hanya untuk belajar. Tapi... aku tidak bisa belajar tanpa buku panduannya."
"Jangan khawatir. Setiap hari, aku akan menemuimu di sini. Aku akan mengungkapkan pelajaran yang baru saja diterangkan guruku. Dan kamu bisa mencatatnya."
Wajah Bela langsung berseri-seri. Yuni melambaikan tangan sambil mengayuh sepedanya. Bela hanya tersenyum gembira. Yuni tahu, banyak anak yang tak mendapat pendidikan cukup sehingga mereka jadi bodoh. Tetapi, Yuni tahu cara agar mereka menjadi pintar, yakni dengan mengajarinya dan memberi mereka buku atau pensil, senjata paling kuat dalam menuntut ilmu.