Apa yang dapat kuceritakan dari keseharianku sebagai pekerja biasa di ibu kota. Mungkin sesungguhnya banyak, tapi hampir selama 6 tahun aku berkarir rutinitasku itu-itu saja. Berangkat pagi pulang malam. Kadang bahkan pulang pagi. Naik KRL, berdesakan atau bahkan kosong sama sekali.
Aku ingin menceritakan tentang orang-orang yang kuperhatikan selama perjalanan. Tentang apa yang ada di dalam pikiran dan hatinya. Coba pikir, pernah kah kita memperhatikan mereka. Orang-orang yang satu perjalanan dengan kita. Ekspresi, raut muka, dan mimik yang berbeda sudah pasti punya cerita yang beragam pula.
Tapi aku tak punya kemampuan itu. Membaca pikiran mereka, apalagi membaca hatinya. Jadi biarlah, aku akan terus berjalan menelusuri trotoar berharap ide cerita akan kutemui di persimpangan di ujung jalan.
Langkahku berat hari itu. Senin di bulan Februari, di kala hujan sedang rapat-rapatnya. Rintik hujan menciptakan padangan buram dari kacamata tebal yang ku pakai. Aku berhenti sejenak, menepi untuk membersihkannya.
Langkahku terhenti menunggu kendaraan yang mempercepat lajunya karena gerimis membuat si pengendara berpikir untuk lebih cepat agar tak kebasahan di perjalanan. Lalu kuperhatikan di sebrang jalan tepat di bawah pohon mahoni, duduk bersila seoarang bapak tua. Padahal disebalahnya ada kursi kosong tempat orang menunggu atau sekedar beristirahat sejenak. Aku berpikir mengapa si bapak tidak duduk di kursi itu?
Aku menyebrang dengan tergesa karena para pengendara itu tak mau menurunkan kecepatannya. Begitu sampai di sebrang jalan, tahu lah kini mengapa dia tak duduk di kursi. Oh ternyata karena dia tidak ingin mengambil hak orang lain atas kursi itu.
Di sana dia tidak sedang istirahat tapi justru sedang bekerja. Baru ku sadar kalau ada sebuah kotak di depannya. Bapak ini adalah seorang tua yang menjual jasa pengisian gas korek api. Jasa pengisian gas korek api di zaman orang sudah beralih ke rokok elektrik, ironis.
Keesokanya kuperhatikan di tempat yang sama dan jam yang sama, beliau di sana duduk setia menunggu orang yang ingin menggunakan jasanya. Ingin rasanya ku bantu dengan memberinya sejumlah uang, tapi aku tahu harga diri seorang laki-laki. Atau aku berpura-pura sebagai seorang perokok, membeli korek gas, membuang isinya lalu memintanya untuk mengisi ulang? Klise tapi mungkin patut dicoba.
Ide itu menguap karena kulihat di sana si bapak tua tak duduk sendirian. Ada satu pelanggan yang ikut duduk bersila menunggu korek gas nya terisi. Dia duduk di atas trotoar kotor tanpa ragu tanpa sungkan.
Ku dekati mereka karena terlihat akrab. Saling melempar senyum dan gestur hangat walau perbedaan umur nyata jauhnya.
Aku lah disana duduk di atas kursi kosong itu berpura-pura membetulkan tali sepatu dan mengambil botol air minum. Berlama-lama di sana agar ku tahu lebih banyak ada apa diantara dua manusia beda zaman ini.
“Sudah 30 tahunan lah kira-kira,” kata si tua. Tangannya tak berhenti bekerja mengisikan gas pada benda kecil itu.
Aku rasa si muda menanyakan sudah berapa lama dia menjalani pekerjaan itu. 30 tahun, bahkan hampir sama dengan usiaku kini. Ku teguk lagi untuk kedua kalinya, menelannya dengan pelan sambil menajamkan indra pendengaran. Tapi yang ku dengar adalah bahasa daerah yang tak asing. Bukan bahasa suku ku, tapi kini ku tahu darimana mereka berasal.
Menit-menit berlalu mereka terasa semakin akrab. Aku heran bisa-bisanya dua orang yang berbeda zaman, tak saling kenal, bertemu di tempat umum, lalu akrab dalam sekejap. Aku pikir kini saatnya pergi membiarkan mereka larut dalam kehangatan.
Tidak setiap hari aku menemukan mereka. Tak jarang juga tempat itu kosong. Padahal aku selalu melewatinya di jam yang sama. Hingga di suatu hari, langkahku terhenti di batas jalan dan trotoar ketika hendak menyebrang.
Si muda dengan pakaian casual dan si tua dengan jaket lusuh dan celana bahan hitam. Interaksi yang membuatku terdiam adalah ketika si muda baru saja tiba di ujung jalan. Mendekati si Tua yang sedang duduk seperti biasa. Begitu si muda mendatanginya, si tua berdiri. Si muda lalu mengulurkan tangan yang disambut tangan terbuka juga. Kemudian si muda mencium tangan tua yang keriput dan berbau gas.
Mereka terlihat bercengkrama dengan hangat. Pandanganku kadang terhalang oleh kendaraan-kendaraan yang lewat, tapi itu tak membuatku terganggu. Si muda lalu mengeluarkan sebuah amplop dari kantong celana ketatnya. Memberikannya pada si tua yang kemudian berterimakasih dengan sungguh-sungguh. Mereka bersalaman sebelum berpisah, sekali lagi si muda mencium tangan si tua lalu membungkuk pamit.
Matahari siang itu selepas shalat jum’at sangat lah terik, tapi sepanjang jalan dari mesjid ke tempat membeli makan seperti dilindungi angin yang berhembus lembut. Sesampainya di sana aku memilih tempat duduk paling pojok. Siang ini tak terlalu ramai, karena kebanyakan kaum hawa pasti sudah selesai acara makan siang tadi sebelum jam shalat jum’at.
Lalu datang seorang laki-laki, tak langsung duduk tapi mendatangi salah satu gerobak makanan. Memesannya lalu celingukan mencari tempat duduk kosong. Mata kami bertemu, dia bergerak maju. Tak kusangka dari sekian banyak tempat duduk yang kosong dia memilih duduk di pojokan juga, tepat disampingku walaupun beda meja makan.
Pesanan kami datang dan laki-laki itu bilang permisi untuk mengambil sendok garpu yang terletak lebih dekat dengan posisiku. Hanya itu interaksi kami hingga makanan itu habis tak tersisa. Kemudian laki-laki mengeluarkan sesuatu yang ternyata rokok elektrik dari kantong celananya. Menhisapnya lalu menghembuskan asapnya ke layar hp yang sedang ia scroll dengan ujung jarinya.
Ternyata dia tidak merokok, lalu untuk apa dia mengisi korek gas pikirku. Penasaran aku pun beranikan diri untuk mengajaknya bercengkarama. Aku mengenalkan diri dan langsung pada inti rasa penasaranku.
“Mas kenal dengan orang tua itu?” Pertanyaan kesekian dariku setelah kuungkapkan bahwa aku telah menyaksikan interaksi dirinya dan si tua beberapa hari sebelumnya.
“Oh, enggak. Saya baru kenal hari itu,” jawabnya ramah.
“Tapi mas ga merokok,” kilah ku.
“Kadang masih merokok juga, cuma memang lagi pengen ini aja.”
“Oh gitu, tapi keliahatan akrab banget ya Mas sama si Bapaknya,” kataku sembari menyesap teguk terakhir es jeruk yang rasanya lebih seperti sirup.
Dia menghisap dalam-dalam rokok elektriknya, menghembuskan asap beraroma wangi ke udara. Tatapannya ke piring kosong bekas makannya.
“Waktu saya menemukan bapak itu, sebetulnya saya tidak ada keperluan mengisi gas. Tapi saya teringat seseorang karena dari tampilan, mungkin umurnya juga, cara bicara, sampai senyumnya pun sama,” katanya masih menatap pring kosong.
“Siapa Mas?” maksudku teringat siapa
“Bapak saya. Di kampung.”