Malam ini pukul 23.30, aku berjalan menelusuri trotoar yang menghubungkan rumahku dengan pusat kota. Lagi-lagi aku tidak tahu apa yang akan kulakukan pada malam begini.
Selama sepuluh tahun ku-tinggalkan, terlalu banyak perubahan disana sini. Rumah-rumah toko dibangun berderet di sepanjang trotoar. Mall-mall sudah berdiri dan tower-tower satelit bertebaran di setiap sudut kota.
Di satu sudut persimpangan pusat kota aku berhenti. Mataku menatap Mall yang baru selesai dibangun. Tepat didepan tangga masuk Mall, seseorang sedang menatap kearah-ku. Ada perasaan janggal ketika kedua mata-ku balas menatapnya.
Tampaklah bapak tua memakai jacket tentara dan kopiah khas seorang pejuang. Mungkinkah beliau seorang veteran pejuang yang masih hidup?. Atau hanya seorang gelandangan yang sedang mencari tempat untuk tidur?.
“Senang bisa bertemu dengan kamu…” Ucapnya kepadaku setelah aku mendekat.
“Oya, siapakah bapak?” Tanya-ku reflek sambil menjabat tangannya.
“Aku hanya orang biasa yang dulu sebagai Tentara Nasional turut melawan penjajah.”
“Oh, sepertinya bapak pejuang di zaman kemerdekaan?” Aku mencoba mengingat.
“Ya, aku turut memproklamirkan kemerdekaan tahun 1945…” Dia mengangguk.
Bapak tua itu lalu mengajak mengobrol yang nampak akrab. Kemudian mengajak aku berjalan memasuki gang yang mirip sebuah lorong. Hingga akhirnya sampai di ujung lorong yang ternyata sebuah perkampungan penduduk.
Sebuah perkampungan yang penuh warna dengan berbagai macam literatur teknologi. Seperti kehidupan dalam dunia dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat. Menyuguhkan ilustrasi yang serba exlusif, lengkap, dan bernuansa universal.
Para penghuninya pun sibuk dengan berbagai aktivitasnya. Penuh semangat, inspirasi, dan motivasi yang tampak menyenangkan. Melakukan kegiatan seperti berburu, berolah raga, bermain music, dan makan-makan. Seperti mereka merasakan kebahagiaan, kesenangan, dan kedamaian yang tiada akhir.
Disini juga tak ada tempat-tempat kumuh. Bahkan tempat sampah tak tercium bau busuk sama sekali. Ternyata isinya barang-barang elektronik, sisa-sisa carbon, dan partikel-partikel beku. Semuanya sudah sangat praktis di era masa kini.
“Inilah kampung halamanku, nak…” Bapak tua itu tersenyum.
“Tempat apakah ini?” Tanyaku.
“Elysium, tempat arwah para pahlawan dan roh orang-orang baik.”
“Arwah? Apakah semua orang mati akan seperti itu?”
“Perjalanan spiritual ruh manusia untuk mengenali dunianya sendiri ternyata serba misterius. Jika manusia baik, akan mendapat kebaikan disini. Namun, jika manusia jahat, tak akan ada tempat disini.”
“Bukankah ini hanya sebatas mimpi kita? Yang berkembang hingga mencapai satu-satunya batas?”
“Bisa jadi seperti itu, semua rekayasa teknologi di dunia berasal dari mimpi.”
Aku tidak mampu menanggapi, hatiku masih merasa absurt dan aneh. Semua yang ku-lihat adalah sebuah fenomena dystophia. Fantasi kehidupan yang sudah sangat maju dan sangat modern. Sebuah peradaban yang konon memiliki sejarah panjang dan misterius.
Aku terkejut, ternyata hari sudah tampak pagi. Para pekerja bangunan sedang sibuk membongkar sebagian bangunan tangga mall. Tangga mall yang semalam masih terlihat kokoh, kini mulai retak dan roboh.
Tadinya aku berpikir ada konstruksi bangunan yang salah. Namun ternyata para pekerja itu sedang membongkar sebuah makam. Menurut pengawas proyek masih ada satu makam lagi yang masih tertinggal. Belum di pindahkan ke pemakaman yang baru.
Aku penasaran, kemudian mengkroscek. Bahwa nama pahlawan yang makamnya dibongkar, ternyata identik dengan nama bapak tua yang semalam bersama-ku. Aku hanya bisa berdoa, semoga bapak tua diberikan tempat yang layak disisi-Nya, Amin.
***