Sepuluh tahun sudah aku mengalami metamorfosis ke masa dewasa muda, tetapi, untuk pertama kali dalam kehidupanku, aku tidak dapat menemukan kata-kata untuk belajar menulis. Mungkin karena aku merasa tidak memiliki masa depan yang cerah dan hanya terbelenggu dalam kenangan masa kecilku yang begitu indah.
Ditambah lagi, cibiran yang datang bertubi-tubi membuatku tak dapat lagi menahan kejengkelanku. Apalagi, salah satu teman baikku waktu itu sampai tega mendiagnosa jika aku termasuk 'Jones', karena kegemaranku belajar menulis.
"Lebay!" Riyu mengatakannya ketika aku menghadiri resepsi pernikahan kakak perempuannya. "Otak kita berbeda dengan 'mereka'βpara penulis hebat," tambahnya.
Aku tidak suka Riyu menggunakan kata "kita". Sebab, sudah tidak ada kata "kita" antara aku dan Riyu. Mungkin Riyu lupa jika aku dan "mereka" memang berbeda. Aku adalah aku. Mereka adalah mereka. Aku bukanlah mereka. Mereka juga bukanlah aku. Aku dan mereka punya impian yang berbeda. Otakku dan otak mereka pun, jelas berbeda.
Aku selalu menyakini, setiap orang yang terlahir ke dunia, pasti dikaruniai bakat yang berbeda oleh Tuhan. Aku sendiri sangat yakin dengan apa yang aku lakukan. Aku juga tidak pernah meremehkan orang yang melakukan apa yang ingin mereka lakukan. Karena bagiku, apa yang kita lakukan hari ini, esok, dan seterusnya, adalah jawaban untuk masa depan kita sendiri.
Hari-hari silih berganti, dan aku hanya terdiam di rumah bersama buku-buku koleksi dan smartphone yang selalu kugunakan untuk mengetik semua rahasiaβkenangan pahit-manis, jerit-tangis, canda-tawa. Kenangan masa lalu yang ada di lubuk hatiku. Kenangan yang kusebut "masa kecil" yang kembali memenuhi pikiranku, dan harus kusempurnakan untuk membuktikan pada "mereka", orang-orang dari masa kecil yang mencibir tulisanku.
Setiap sesuatu yang baru, pasti selalu diliputi pro dan kontra. Tak terkecuali tulisanku. Meskipun banyak yang mencibirnya, ada beberapa dari teman-temanku yang memberikan dukungan.
"Lanjut terus, Bro... butuh dana, nggak?" Rian berkomentar ketika aku mem-publish sinopsis novelku ke grup BBM SD Secang.
"Terus berkarya, Gan." Si pintar Dasa yang selama beberapa tahun 'berperang dingin' denganku memberikan dukungannya.
Wow, aku benar-benar tidak menyangka. Yang dulunya musuh, sekarang malah berteman. Yang dulunya teman, sekarang malah musuhan. Ungkapan "roda itu berputar" ternyata berlaku juga bagi kehidupanku.
Sayangnya, kedua peri kecilku waktu itu tidak memberikan dukungan sama sekali.
Sasa-ku yang dulu, sekarang telah berubah menjadi seorang "perfectionista", tidak mengizinkanku menggunakan nama aslinya dalam novelku.
"Mohon maaf sebelumnya, tanpa mengurangi rasa hormat saya, saya tidak berkenan jikalau nama saya ada dalam novel itu," tulis Sasa sambil menambahkan kata, "Terima kasih!"
Sementara itu, Si Super Cantik Diza tidak pernah mengomentari tulisanku, sebab ia tidak pernah menampakkan batang hidungnya di grup BBM kami. Terakhir kali aku bertemu dengannya, ia menyapaku sambil tersenyum sewaktu aku membantu ibuku berjualan di pasar. Dan ketika aku menoleh, senyuman sang primadona membuatku kembali bermimpi ke masa kecilku yang begitu indah. Seolah mengingatkan kembali bagaimana caraku mencintainya selama beberapa tahun. Hal itu membuatku terbelenggu seumur hidup.
Di sisi lain, sebagian teman-temanku yang tergabung dalam grup BBM hanya menjadi "penyimak yang baik". Hal itu malah membuatku semakin bersemangat untuk membuktikan pada mereka: Siapa aku ini?
Bukan seberapa hebat impian kita, tetapi seberapa hebat kita mengejar impian itu.