Jika kau ingin menentang waktu, sama halnya kau ingin menggugat Tuhan. Ikuti saja alur hidupmu. Kenapa juga mesti sibuk merenggut kembali sesuatu yang telah usai kaulewati?
“Tak pernah mudah melupakan masa lalu, biar pun itu soal luka. Kau mestinya mengerti itu!” katamu, sore tadi.
Aku paham, itu caramu menolak cintaku. Menolak dengan cara paling halus, menurutmu. Tapi, kaulupa bila laki-laki sepertiku juga manusia, punya hati yang juga bisa terluka dan lelah menjadi penunggu. Setelah kupikir berkali-kali, aku bisa apa lagi untuk meruntuhkan sifat keras kepalamu selain merengkuh kembali hati yang telah aku coba berikan padamu.
“Sudahlah, sekarang aku paham cinta bukan lagi soal hati, tapi waktu,” timpalku. “Mau selama apa pun kita berteman dan saling mengenal, aku rasa tak akan pernah cukup membuatmu berpaling dari luka masa lalu.”
Kau masih terduduk dengan menekuri tanah yang dipenuhi daun eboni—tanpa berniat menyahut, yang seolah menyetujui perkataanku.
Aku pun mulai meninggalkanmu sendiri di bawah pohon eboni. Pohon yang selalu jadi saksi bisu perihal pengakuanku padamu. Bahkan, aku hampir lupa sudah berapa kali menyatakan hal bodoh itu dengan jawaban serupa; penolakan—hal yang menamparku pelan, perlahan, agak kasar, sakit dan berakhir mendekati kematian. Aku jadi percaya jika cinta tak melulu perihal rasa bahagia, tapi juga terkadang berujung luka.
Di bawah pohon dengan kulit luar yang beralur mengelupas dan berwarna hitam ini, sering kita habiskan waktu bercengkerama. Aku kira, selama ini senyum itu pertanda kau telah baik-baik saja. Kau telah bisa merelakan masa lalu, dan menerima apa pun yang layak kau terima di hari ini.
Dan aku salah besar.
Aku pun mengira, kau akan bisa belajar bahwa eboni pun pernah gagal hidup dalam usaha-usaha konservasi in-situ. Sama halnya dengan manusia, eboni dalam kehidupannya tidak dapat hidup sendiri sebagai individu atau suatu kelompok tumbuhan yang terisolasi. Begitupun, kau yang tak akan terus bisa hidup bersama masa lalumu yang tak pernah kau coba lepaskan.
Tapi kekeras-kepalaanmu tak bisa begitu saja runtuh. Mau seberapa banyak aku bercerita perihal hebatnya pohon eboni untuk bertahan hidup, kau tak akan pernah menerima bila kisah hidupmu pun serupa.