Pada sebuah malam, sekelompok serdadu membariskan tiga pejabat negara menghadap tembok rumah sakit jiwa. Ketakutan membayang di wajah mereka. Serdadu-serdadu itu mengeluarkan bayonet, komandannya tertawa. “Mati di rumah sakit jiwa, seperti seharusnya mereka!”
Komandannya mengacungkan tangan, pisau berkelebat, tiga leher terbuka, suara seperti sendawa menggema dari lubang yang membebaskan udara. Darah mengalir. Komandannya tertawa, lalu mengeluarkan sendawa lain beraroma kopi murah sambil berkata. "Selamat malam, revolusi!"
Di seberang rumah sakit jiwa itu, pada ruangan dengan jendela terbuka, sepasang kekasih telanjang berpelukan bak seruru, mengerang panjang. Orgasme tak tertahan. Suara mereka menyatu, serak, seperti sendawa yang datang dari dunia lain. Mereka bersenggama dengan latar belakang kekejaman. Lalu keduanya saling berbisik, "Selamat datang berahi!"
Kemudian sebuah ledakan terdengar, rentetan tembakan menggema, semua serdadu yang ada di depan rumah sakit jiwa itu bertumbangan. Tembakan datang dari berbagai arah. Angin sisa ledakan berhembus, mengibaskan gorden kamar dan mendorong daun jendela, hingga kamar itu tertutup abadi.
“Selamat malam, kota mati.”