Ayahku seorang raja, namanya John, ibuku bernama Roxane.
Aku Charlotte, anak tertua dari 3 bersaudara, adikku Jane berumur 7 tahun dan Mary baru saja lahir.
Usiaku 9 tahun, mereka memberiku gelar putri Mahkota. Yang artinya saat aku umur 20 ke atas, siapapun suami ku, dia akan menjadi raja di Negeri ini.
Aku tidak bisa bertemu dengan saudaraku dan orangtuaku sejak pemberkatan.
Aku harus belajar etika dan ilmu pengetahuan lainnya.
Hanya saat acara sosial, lelang dan relawan, kami berkumpul.
Umurku 17 tahun. Banyak surat rekomendasi calon suami di kamarku. Surat dari kerajaan tetangga, para bangsawan dan keluarga kerajaan ku sendiri.
Bukan hal yang aneh. Karena para bangsawan dan kerjaan manapun, masih ada yang menikahkan anaknya dengan keponakan.
Sedikit kaum bangsawan merelakan anaknya menikah dengan orang biasa.
Tapi aku tidak bisa menikah dengan orang biasa, karena aku perempuan, dan calon ku harus pintar dan bijaksana dalam mengatur negara. Keluarga yang bukan keturunan bangsawan tidak mempunyai ilmu pengetahuan karena biaya sekolah sangat mahal.
Entah ini krama atau takdir. Aku mencintai orang biasa. Namanya Tony.
Dia anak tukang kebunku.
Kami bertemu saat Tony menggunting duri bunga mawar di kebun.
Sebenarnya aku berniat ke dapur tapi melihat Tony menggunting bunga, aku menghampirinya.
Dia duduk di sebelah kolam airmancur.
"Siapa kamu?" tanyaku. Tony langsung berdiri lalu menunduk hormat padaku.
"Nama saya Tony, your highness,"
"Mau kau apakan bunga itu?" aku duduk di depannya tapi Tony menahanku. Ia melepas sweaternya untuk alas ku duduk.
Aku duduk di sweaternya.
"Bunga ini digunakan untuk acara kedewasaan, your highness,"
"Aku lupa itu, bakal banyak pangeran dan bangsawan yang datang nanti malam."
"Sepertinya anda tidak senang?"
"Bukan begitu, cuma, gugup, aku akan bertemu dengan orang yang aku tidak kenal."
"Jangan cemas, pesta di istana dapat mendatangkan cinta sejati."
"Sungguh?"
"Begitu legendanya, your highness."
Lalu aku melihat jarinya penuh luka duri. Aku memberinya sapu tangan.
"Saya tidak pantas menerimanya."
Aku meletakkannya di tangan Tony, "Aku tidak mau bungaku berlumur darah."
Tony pun memakai sapu tanganku.
Sejak pertemuan itu aku jadi sering bertemu Tony di kebun.
Kami menanam aneka tumbuhan. Bahkan aku tidak takut cacing ketika menempel di jari ku saat menyangkul.
Sore harinya kami duduk di bawah pohon. Aku mengajarinya membaca. Dia cepat sekali belajar membaca.
Ada kejadian yang membuatku marah. Ketika Jean dan Mary bertemu Tony.
Tony membuat mahkota yang terbuat dari ranting dan bunga. Mary memakainya dan Tony membantu Jean memakainya. Ketika itu aku berjalan cepat lalu entah mengapa aku menampar pipi Tony. Plak. Mereka terkejut apalagi aku.
"Mary, Jean, ayo masuk." perintahku.
Mary menangis, "Kakak kenapa menampar Tony!"
"Maafkan kakakku Tony," ujar Jean lalu merangkul Mary mengantar ke dalam.
Setelah kejadian itu aku buru-buru ke tempat ayah. Aku buka pintu, ayahku sedang duduk membaca laporan sendirian.
"Ayah, aku tidak ingin menjadi ratu." ujarku tanpa menyapanya.
Aku menangis, ayahku menghampiriku lalu memelukku.
"Apa yang terjadi?" tanyanya lembut.
"Aku mencintai orang biasa." tangisku.
"Tapi apa dia mencintaimu juga?"
Aku tidak tau.
Aku menangis menjadi-jadi, dan pelukan ayahku semakin erat dan hangat.