Rapat penting dengan pemasok rupanya berlangsung bertele-tele hingga selesainya molor satu jam dari rencana semula. Seharusnya mereka paham betapa berharganya waktu. Itu membuatku harus memacu kendaraan secepat mungkin agar tak terlambat tiba di kantor sebelum rapat yang tak kalah penting: rapat dewan komisaris. Rapat bisa batal kalau direktur utama terlambat. Kabarnya komisaris utama yang baru sangat ketat soal waktu.
Sial! Lampu merah! Kalau sedang buru-buru begini, merahnya terasa lebih lama dari biasanya. Ketika lampu berubah hijau, segera kutekan klakson berkali-kali agar mobil di depanku bergerak. Mobil itu malah seperti melonjak, lalu berhenti. Ah, pasti mesinnya mati. Sopirnya kurang ahli mengoper gigi. Mungkin SIM-nya nembak.
Bodoh! Makanya pakai matic! Umpatku. Dalam hati sih. Mana berani aku mengumpat pada orang lain di jalan raya.
Mobil itu akhirnya melaju persis ketika lampu berubah jadi kuning. Apa daya, tepat sebelum mobilku melewati garis penyeberangan pejalan, lampu sudah merah lagi. Akupun berhenti. Lampu hijau berikutnya aku tancap gas. Mendekati gedung kantorku, kulihat mobil tadi yang lantas kusalip dari kanan.
Aku tiba di gerbang kantor 15 menit sebelum waktu mulainya rapat. Kuarahkan mobil ke lobi gedung. Dari kaca spion terlihat mobil butut tadi mengikuti.
Begitu mobilku berhenti di lobi, mobil tadi juga berhenti di belakangku. Dua orang sekuriti menghampiri dan masing-masing membukakan pintu kiri mobil kami. Seorang perempuan turun dari mobil butut itu, disambut dengan takzim oleh direktur utama yang turun tergesa dari mobilku.
“Selamat datang, Bu Komut!”