Flash Fiction
Disukai
1
Dilihat
106
Teman Banci Toko Sebelah
Aksi
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

Pertama kali dengar obrolan sesama banci, aku kaget.

“Eh banci, belom pulang lo.”

“Iya, Cong, jemputan belum datang.”

“Da..bencong”

“Da...banci” mereka kemudian berpisah sambil saling melambai begitu becak langganan datang menjemput.

Aku yang berdiri tak jauh dari mereka tak bisa menahan tawa, sebelum akhirnya disemprot mereka.

“Diam!!” Mereka nyemprotnya barengan dengan nada bariton yang persis sama.

“Kompak ni ye,” balasku. Kami akhirnya terbahak bertiga.

Tapi beneran, aku bukan bagian dari mereka.

Kantorku tepat di samping toko mereka, tak jauh dari bank swasta terbesar di ibu kota. Sebenarnya pemilik kantor media tempatku bekerja adalah juga pemilik salon kecantikan yang dikelola istri tercintanya, mereka berdua para pekerjanya.

***

“Kenapa bos buat tabloid?” tanyaku suatu hari.

“Ya karena orang-orang bisa buat, pastinya aku juga bisa,” sesederhana itulah keinginannya.

Sayang kantornya cuma bisa bertahan satu tahun. Gara-gara kebanyakan "pengawas".

Setiap malam, “editor dan redaktur” pengawas berita "asing" datang bergantian. Jika bukan dari Kodam, maka dari pasukan yang dijuluki “pemberontak” yang datang.

Pertanyaannya sederhana, berapa porsinya?

Porsi yang dimaksud bukan makanan, karena kantor kami kantor berita. Jadi pastilah porsi berita yang akan dimuat pagi itu.

Jawabanku sekenanya, sesuai dengan hasil rapat, 60:40.

“Siapa 60?” tanyanya lagi sambil memperlihatkan AK-47 yang terselip di balik jaket hitamnya.

“Kalian,” jawabanku. Jawaban itu cukup untuk bisa menurunkan kakinya dari sisi kursiku dan menurunkan nada bicaranya.

“Baiklah,” katanya mengangguk dan ngeloyor pergi dari ruang redaksi. Siapapun bisa kena tanya jika sedang berada di tempat dan waktu yang sama dengan kedatangannya. Tapi kami semua tak peduli asal bisa memberi jawaban dan alasannya.

Pernah sekali aku sebut 80:20. Aku bilang mereka 80 karena serangan kalian kemarin membuat mereka babak belur. Ia sama sekali tak marah, malah menepuk-nepuk pundakku dan menyelipkan uang seratus ribuan.

“Nih bonus,” katanya.

Tumben. Aku tempelkan uang kertas merah itu di jidat. Sering-sering ya Om, batinku.

***

Paginya aku mampir ke penjual bubur di depan kantor memesan tiga porsi spesial. Aku letakkan di meja belakang salon dekat pintu penghubung tempat pekerja rehat atau bersantai.

“Buat kalian berdua,” tulisku di kertas pesan.

Waktu aku sedang menikmati bubur di depan komputer, tiba-tiba muncul dua makhluk yang kemarin bertengkar di depan toko nunggu jemputan.

Mereka bergantian hendak memijit punggung seperti biasa dilakukan ke pelanggan salon sehabis creambath. Aku berterima kasih dan menolaknya. Terus terang aku tidak tahan geli kalau dipijat.

“Eh ganteng, trims ya buburnya. Kok tau kami lagi bokek,” ujar Mira yang malamnya berubah jadi Martin, dan Rieska yang berubah jadi Rio.

“Jangan fitnah,” ujarku sambil pura-pura marah.

“Apaan sih kok fitnah?”

“Bilang orang jelek jadi ganteng gara-gara dikasih bubur itu fitnah,” lanjutku.

“Tapi bener kok abang ganteng,” kali ini mereka barengan lagi ngomongnya dengan nada yang juga sama intonasinya.

“Baiklah, aku juga tau,” jawabku iseng. Tiba-tiba muka mereka manyun tak terima.

***

Minggu pagi aku ke mall, bareng keponakan dan sepupu. Janji bawa jalan-jalan ke Funland. Turun dari mobil di parkiran, membuka pintu, menurunkan bocah-bocah itu. Tiba-tiba muncul dua orang menarik tanganku kanan dan kiri.

“Eh, ganteng-ganteng bingit anaknya?” kata mereka berdua.

“Ponakan!, bukan anak.”

“Tapi bener ganteng kok, siapa dulu omnya,” pujinya lagi.

“Maaf, aku ngak ada uang kecil” ujarku bercanda.

“Ngak apa-apa, kami suka yang besar kok” ujarnya sambil tergelak tawa.

Orang-orang di mall matanya langsung jelalatan. Ih ternyata, mereka temenan. Mungkin aku disangka bagian dari mereka.

Mereka bayangkan aku juga akan jalan lemah gemulai seperti mereka. Apalagi aku memakai denim sedikit ngepas, begitu juga dengan kaos ukuran M padahal biasanya large. Aku berbasa-basi sebelum akhirnya “kabur” dari hadapan mereka.

***

Terus terang, aku sebenarnya takut dengan mereka. Siapa tahu nih ya, salah satu dari mereka suka sama aku. Terus aku punya pacar atau ada cewek naksir.

Aku pernah dengar cerita horor soal persaingan di kalangan mereka kalau rebutan pacar atau merasa cemburu. Mereka tak cuma main jambak rambut, tapi bisa juga memakai kekerasan. Memang tidak semua begitu, artinya berita itu kasuistis.

Sesekali aku dengar dari tempatku mengedit berita, dari pintu penghubung kantor media dan salon, suara Mira alias Martin dan Rieska alias Rio berubah jadi suara bariton laki-laki.

Tapi jujur, melihat mereka aku sama sekali tak merasa aneh, tapi justru kasihan. Mungkin secara hormonal, atau psikologis, atau latar belakang hidupnya, ada sesuatu yang membuat mereka berkamuflase seperti bunglon, harus menjadi laki-laki atau harus menjadi perempuan.

Kadang aku memikirkan bagaimana mereka mengatasi orang-orang yang memberinya stigma atau stereotip buruk. Apakah mereka nyaman dengan kondisinya? Bagaimana mereka sebenarnya? Kenapa harus melakukan itu?

Ketika mereka tiba-tiba menjadi “normal,” aku menemukan kepribadian yang lain, apalagi kalau mereka sampai curhat serius layaknya sedang menghadap psikolog, karena aku suka berbagi saran.

Aku suka caranya mereka bercanda yang spontan. Aku bilang sama mereka, “nanti jangan ganggu pacarku ya kalau aku sudah punya, jangan sampai kalian cemburu.”

Mereka malah terbahak, bukan sebagai Rieska dan Mira, tapi sebagai Martin dan Rio.

“Tapi kami kan cowok juga,” kata mereka lagi-lagi bersamaan. “Boleh dong suka pacar abang.”

Aku melotot ke arah mereka. “No way!” ujarku. Kemudian kami tertawa terbahak bersama.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Aksi
Rekomendasi