Sebuah notifikasi akhirnya masuk. Padahal hari Minggu ini sebenarnya aku ingin menikmatinya di rumah, meskipun hari ini cerah.
Tapi Rumina terus-terusan mendesakku dengan dering telepon yang hampir setiap menit berbunyi. Akhirnya, aku menyerah.
"Baiklah, jam berapa kita harus ke sana?" tanyaku pasrah.
"Nah, gitu dong! Ini bakal jadi kejutan lho," jawabnya dengan antusias dari ujung telepon.
"Aku yakin kamu bakal senang." lanjutnya masih dengan nada gembira.
Jawabannya membuatku tak enak hati menolak, dan juga membuatku tambah panasaran. Kejutan apa?.
Aku sudah memanaskan mobil beberapa menit lalu sambil menikmati sepotong sandwich isi cokelat favoritku.
"Aku OTW," tulisku di WhatApps. Rumina hanya membalas dengan emotikon hati, tapi tak lama muncul pesan tambahan: "Love U ;)."
Pagi yang sejuk masih terasa dingin saat aku tiba di rumahnya yang berada di bantaran sungai, dikelilingi jajaran pohon cemara teduh dengan desau anginnya yang lembut, memancing kantuk.
Rumina berdiri di ambang gerbang rumahnya tersenyum manis dengan ransel putih — seingatku itu hadiah dariku saat ulang tahunnya yang ke-17. Dia masih menyimpannya. Aku teringat momen saat aku memberinya tas itu.
"Bang, aku ulang tahun," katanya ketika aku menjemputnya sepulang dari eskul Creative Writing waktu itu.
"Terus?"
"Orang ulang tahun kan biasanya dikasih kado!", jawabnya sambil menyipitkan mata.
"Terus?"
"Kalau orang ngomong, apalagi kekasihnya, jangan diterus-terusin! nanti jatuh," katanya memasang muka cemberut palsu sambil merapikan jilbabnya.
"Kenapa ngak dibilang gini--oh ultah ya, yuk kita cari kado. Kan enak". ujar Rumina waktu itu.
"Maunya".
"Iya, mau.." jawabnya spontan.
"Mau apa?"
"Kado!" ujarnya manja.
Akhirnya pergi berboncengan, aku bilang mau langsung mengantarnya pulang.
Tapi di pertigaan--aku sengaja berbelok ke arah toko kado favoritnya.
Rumina tahu, ia langsung berteriak tak peduli orang di jalanan melihatnya, "horee!, akhirnya ada yang mau belikan kado".
Begitulah cerita tas putih itu.
***
Ini sudah tahun kedua Rumina bergabung di NGO yang kerjasama dengan komunitas untuk para anak difabel. Ia begitu antusias mengerjakan apapun tugas di komunitas itu. Tentu saja aku sangat mensupportnya. Terutama karena aku sangat menyukai anak-anak.
Pagi ini aku bersedia jadi drivernya, dengan satu-satunya penumpang sekaligus yang jadi penunjuk jalannya.
"Masih jauh nggak nih, kok dari tadi belak-belok nggak abis-abis, jangan-jangan "google map"-nya nyasar." tanyaku sambil mengerutkan dahi.
"Enak aja! Aku udah ke sini ratusan kali," jawabnya dengan nada manja.
"Baiklah, jadi kemana Non, mau diantar" ujarku menirukan gaya driver ojol atau sopir pribadi yang ngantar majikan. Gadis itu malah tertawa. Aku dikatain cocok kalau jadi sopir pribadinya--ampun deh!.
"Nah, tuh rumah putih yang ada biru-birunya" ujar Rumina menunjuk dari dalam mobil. Ketika kami tiba disana.
"Nggak ada biru-birunya," sanggahku, memandangi bangunan yang hampir sepenuhnya putih.
"Ada!..pokoknya ada", katanya bersikeras. Belakangan, aku baru sadar bahwa “biru-birunya” cuma les kecil di bagian depan, jadi dari jauh cuma nampak putihnya.
Sementara aku memarkirkan mobil, Rumina berlari ke dalam. Kami kebetulan menjadi orang pertama yang ada di lokasi pagi itu.
Aku turun, karena aku lihat beberapa anak perempuan sedang sibuk menyapu, membersihkan lingkungan bangunan itu.
"Hai!' sapaku dengan ceria. Anehnya tak ada satupun yang peduli. Bahkan menoleh pun tidak.
Apa ini kejutannya, batinku. Aku berjalan mendekat, mereka masih juga tak bergerak-berinisiatif untuk menyapa. Ini bener-bener aneh, batinku.
Belum sempat kebingunganku bertambah, seorang perempuan cantik muncul dari samping bangunan.
"Masuk!, teman Rumina ya" tegurnya ramah.
Aku mengangguk, sambil memandangi anak-anak yang kali ini bergantian memandangiku rame-rame, tapi sama sekali tak bersuara. Bedanya kali ini mereka tersenyum.
"Maaf, mereka siswa sekolah disini--mereka difable-tuna rungu." ujarnya seolah memberi jawaban atas kebingunganku yang bisa dilihatnya dari wajahku. Astaghfirullah, batinku.
"Ngak apa-apa Mbak, iya saya maklum" ujarku sok ramah.
Tak lama Rumina muncul dari dalam bangunan sekolah itu, yang langsung disambut dengan pelukan tanpa suara, dengan bahasa isyarat yang hanya mereka yang tahu. Sementara aku menjadi bahan tertawaan Rumina.
"Bagaimana? Kejutan, kan? Enak kan dicuekin?" katanya sambil tertawa lepas.
Seorang laki-laki muda tiba-tiba muncul. Kulitnya putih bersih, wajahnya lumayan ganteng — meskipun menurutku masih di bawahku dua level. Aku melirik Rumina.
"Jadi dia alasanmu senang datang kesini?" tanyaku setengah sewot.
Rumina tersenyum manis dan menatapku dengan mata indahnya. "Aku suka kalau kamu cemburu. Ganteng banget, sumpah."
Memang paling bisa dia membuatku meleleh. Itu yang selalu membuatku rindu setengah mati. Dia tak hanya cantik, lembut, tapi juga humoris.
Sudah begitu ia juga sangat mencintai anak-anak. Bahkan memandang seorang gadis kecil yang sedang, dimarahi ibunya saja, air matanya langsung banjir. Tapi begitulah Rumina.
"Hans, kalau ada kesempatan bisa bergabung disini, kita bisa belajar bahasa isyarat, kami ada kelas sabtu dan Minggu untuk siapapun yang mau belajar."
Rumina dari jauh mengangguk berkali-kali, memintaku untuk mengiyakan permintaan pak direktur sekolah itu. Tentu saja, tanpa anggukan itu pun aku langsung bersedia.
Aku sudah sejak lama ingin belajar bahasa isyarat. Pertama kali aku melihat anak-anak difable itu berkomunikasi dengan bahasa isyarat membuatku penasaran setengah mati.
Betapa lucu dan serunya, karena mereka menggunakan seluruh bahasa isyarat itu, seolah-olah sedang membicarakan sesuatu yang seru sebagai pengganti suara.
Apalagi aku bisa ikut berkomunikasi dengan gadis-gadis kecil yang aku tak bisa jelaskan dengan kata-kata. Mereka anak-anak yang kuat dan begitu percaya diri.
"Iya pak, Geraldi. Saya ngak mau dicuekin sama anak-anak seperti tadi" ujarku yang disambut gelak tawa para guru, dan senyuman manis gadis-gadis kecil yang hebat itu.
"Kakak punya sesuatu" ujarku sambil membuat bahasa isyarat memanggil anak-anak itu. Dan meminta mereka ikut menuju bagasi belakang mobil.
Aku keluarkan beberapa kotak besar berisi makanan, dan sebuah kotak berukuran sedang yang aku tak tahu apa isinya.
Anak-anak penasaran saat membukanya.
"Aku dapat novel!" Amira mengatakannya dengan gerak isyarat yang bisa ku tangkap dengan mudah.
Begitu juga Shanti, "Aku dapat komik" wajahnya menunjukkan kegirangan.
Ternyata isinya koleksi buku cerita, novel yang khusus disiapkan Rumina untuk mereka. Anak-anak itu berebutan dengan riang.
Kejutan kedua--karena aku juga sangat menyukai buku. Aku melihat Rumina tersenyum bahagia melihatku sibuk dikerumuni gadis-gadis kecil yang tertawa-tawa.
Saat itu, aku tahu, aku tidak hanya jatuh cinta pada Rumina, tetapi juga pada dunia yang dia kenalkan kepadaku.