Kata orang bermimpi ketinggian itu seperti "mengecat langit". Bolehlah jika kalian beranggapan apa yang ingin aku tuliskan juga begitu.
Tapi setidaknya, kalian baca dulu apa cerita mimpiku. Sebelum bermimpi benar-benar dilarang karena bisa membuat orang halu.
Sore itu....
Meja-meja bundar dengan deretan bangku kayu mahoni memenuhi ruang dan waktu.
Dinding krem dipenuhi poster merah menyala. Disisi kanan dalam ruang berisi kotak-kotak monopoli koleksiku memenuhi dinding.
Berkali-kali aku memimpikan ruang itu, maksudku kafe itu. Aku semestinya tak peduli, apakah akan bernama coffe table karena kafeku dipenuhi meja-meja kopi bundar atau persegi.
Atau coffee terra, yang terdengar manis karena terra terasa tak asing, setidaknya bisa bernama seorang gadis kecil yang manis, atau dengan cepat mengingatkan pada kapasitas memori yang over high.
Atau boleh juga cocca coffee yang bisa ditafsirkan sedikit tabu karena seperti mengeja kokain dalam bahasa gaul, coca!. Aku tak akan ajak berdebat dan berlama-lama memilih namanya.
Aku terus bermimpi ruangan kafe itu dipenuhi kursi hitam putih, seperti gula dan kopi, atau hitam kuning yang mewakili dunia yang berbeda.
Aku begitu terobsesi, memikirkannya dengan beragam cara, berhari-hari menyita waktu, melamun, menyesap kopi di kedai langgananku.
Aku ingin ada sebuah sudut di kafe itu yang dipenuhi foto hitam putih koleksi huntingku.
Akan gila rasanya menikmati kopi panas ekpresso, disudut ruang berdinding klasik, dengan gemericik air menuruni kaca lima mili. Airnya terus mengalir turun seperti suara gemericik gerimis kesukaanku.
Seketika seluruh inspirasi berhamburan dari kepala, memenuhi kertas, layar note book yang terus berkedip dan jari tak lagi beraturan antara sepuluh jari dan dua jari tak ada bedanya. Aku cuma ingin menuangkan isi kepala, memenuhinya dengan ide-ide, dan melahirkan tulisan.
Betapa indahnya, menulis di kursi putih sendiri, di kafe sendiri, di dinding kaca gerimis kesukaanku. Dan dalam hitungan waktu aku akan melahirkan berbuku-buku tulisan.
Aku tak peduli apakah akan ada yang membeli, atau meminta tanda tangan, karena aku sudah punya tempat mengelanakan insipirasi.
Seperti terjaga, ternyata aku sedang termangu di rumahku sendiri, di beranda kecil di lantai atas, menghadap arah matahari jingga, yang sesaat lagi mengantar sore ditemani gerimis.