Flash Fiction
Disukai
2
Dilihat
156
RUMAH BERTABUR BAN
Aksi
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

Rumah Ban; Tire House Or Tired House?

Di kota kecil itu Kakek Badar dikenal sebagai juragan ban. Segala macam ban bisa disulapnya menjadi bermacam-macam barang. Jika sekarang ada content creator, maka kakek Badar adalah ban creator.

Dimana-mana diseluruh bagian rumah itu berisi tumpukan ban.

Tapi berkat ban juga kakek Badar menjadi seorang legend-legend ban creator.

Semua pemilik dokar sejenis pedati pasti kenal namanya, karena pasti cari ban bekas untuk pedatinya disana.

Rumahnya dijuluki anak-anak rumah ban.

Banyak orang juga menyebutnya begitu karena ban memenuhi hampir sebagian besar rumah kakek itu. Dimulai dari bagian paling kanan yang sebenarnya adalah garasi, tapi kemudian dialih fungsikan menjadi gudang ban bekas.

Begitu juga dengan ruang sebelahnya juga dipenuhi dengan potongan karet yang diolah menjadi bermacam-macam barang.

Belakang warung istrinya pun menjadi korban untuk tempat penyimpanan. Tapi karena nenek orangnya kalem dan lembut, tak pernah sekalipun mengomel apalagi ngambek karena sebagian lahan usahanya dipakai untuk gudang ban bekas tadi.

Disamping dapur begitu juga, lagi-lagi dipenuhi ban bekas. Termasuk jika sedang banyak stok, ban-ban bekas yang masih bagus akan disimpan kakek Badar di ruang tamu atau ruang keluarga.

Bahkan lantai dua yang pada awalnya kosong, dipakai untuk gudang galon air, dan akhirnya beralih fungsi dari rumah singgah merpati yang jumlahnya ratusan ekor menjadi gudang ban bekas juga.

Ban-ban bekas itu, disusun seperti gelang-gelang memanjang ke atas.

Anak-anak seperti Badrul biasanya memanfaatkannya untuk tempat persembunyian ketika main "petak umpet".

Padahal bahayanya luar biasa, karena jika sampai jatuh ke dalam susunan ban yang tingginya hingga 3 meter dan jumlah susunanya puluhan, itu, maka anak-anak itu tak diketahui oleh orang lain, karena selain pengap ban bisa membuat lemas dan pingsan, terutama dengan baunya yang khas ban mobil.

Lain jika ukurannya besar, bahkan berbalik badan didalam pun anak-anak masih bisa.

Badrul bahkan bisa menjadikannya rumah-rumahan. Kadang-kadang Badrul membawa nasi siang kesana dan berandai-andai seperti sebuah rumah yang aneh.

Karena anak-anak dibiarkan bebas dan selalu berada dalam lingkungan ban-ban bekas, mereka beradaptasi dengan baunya maupun dengan berbagai bahaya yang ada.

***

Tapi ada satu cerita lucu yang pernah didengar banyak orang dari rumah ban itu. Pernah sekali waktu Badrul main petak umpet. Area persembunyiannya di rumah ban itu. Anak-anak bebas bersembunyi dimana saja.

“Tujuh, delapan........sem...biiii.....lan” ujar Tantri yang kebagian jaga pung—di gawang menghitung sampai sepuluh.

Badrul yang panik karena belum mendapat tempat sembunyi berlari ke lantai dua dan berlari di atas tumpukan ban.

Nah, saat itulah ia ketiban sial, Badrul terpeleset dan langsung jatuh ke dalam lubang ban berukuran kecil.

“Sepuluh!!” teriak Tantri akhirnya dihitungan kesepuluh, biar semua anak-anak tahu dan harus bersembunyi sebaik mungkin kalau tak mau ketahuan dan gantian menjaga gawang.

Satu persatu anak-anak ditemukan tantri.

“Afi!, dibalik pintu” teriak Tantri dan Afi kemudian keluar dari persembunyiannya dengan lunglai akrena ketahuan.

“Jonah!, udah jangan sembunyi lagi!, kaus putih agmbar beruang kan” teriak Tantri marah sambil menyebut gambar di baju Jonah karena Jonah masih berusaha tak mau keluar dari persembunyiannya.

Akhirnya Andung, Martha, Mira, Imar semua keluar dari persembunyiannya, kecuali Badrul!.

Meski di kenal paling sulit dicari kalau main petak umpet, tapi kali ini semua anak-anak bingung karena waktu bermainnya sudah habis.

“Badrul keluar!” teriak Afi bergantian dengan Tantri yang mulai tak sabaran.

“Kemana si Badrul, jangan-jangan disembunyikan setan di belakang rumah” gerutu Tantri.

“Tolong!..tolong..!”Badrul yang terjatuh di lubang ban berteriak-teriak, tapi karena berada di lantai dua dan berada di dalam lubang ban sedalam tiga meter suaranya nyaris tak terdengar.

“Mungkin diatas” ujar Martafianko, karena setelah mencari kesemua sudut tak satupun terlihat jejak Badrul, ia langsung berlari kesana.

Samar didengarnya suara. Awalnya ragu, Afi malah mencari sumber suara ke arah belakang rumah. Melongok dari jendela kaca di bagian belakang bangunan. Tapi suara itu terdengar makin menjauh.

“Bad!...Badrul!!” teriak Afi memancing panggilan.

“Disini!” teriak Badrul, tak jelas dari arah mana.

“Tantri!, Badrul diatas, di tumpukan ban!” teriak Afi. Bukannya cepat menolong semua anak-anak justru terbahak.

“Biarain, biar kapok si Bad! Dasar bad boy” ujar Tantri sambil tertawa.

“Tapi kasihan” Ujar Mira. “Cepet ditolongin, mati nanti anak orang” kali ini Mira tampak serius.

Begitulah, setelah perjuangan para pekerja Kakek Badar menarik tumpukan ban satu persatu. Maka keluarlah Badrul dari “tempat persembunyiannya” dengan seluruh muka dan badannya hitam terkena ban.

Tapi sejak itulah Badrul juga menjadi terkenal. Anak yang terperosok lubang ban.

***

Ban-ban bekas yang dibeli kakek itu biasanya tak bertahan lama, dalam waktu sebentar habis dan kemudian akan dipesannya lagi.

Jika pesanan datang kakek akan memimpin pemilahan jenis ban. Ban-ban yang baru disimpan lebih baik karena kakek akan mengolahnya lagi.

Jika tidak menjadikannya ban-ban untuk bendi pengangkut barang, kakek akan menjualnya kepada para pemilik truk atau colt yang membutuhkan ban bekas untuk mengganti sementara ban-ban mobil yang aus, karena membeli ban baru lebih mahal, bisa tiga atau empat kali lipat harganya.

Kakek Badar memang dikenal lihai dalam berbisnis ban ini, tidak itu saja, kakek itu juga sangat menghormati rekanan sesama pedagang dan pesaing.

Terutama jika para pedagang mainan anak-anak datang ke kota kami menjelang 17 Agustusan untuk memeriahkan hari kemerdekaan dan pameran-pameran kecil di kota dengan menjual mainan anak.

Bentuknya gasing seng berbentuk miniatur sepeda motor yang harus diputar dengan tali di rodanya, maupun kapal-kapalan yang harus dipanaskan dulu dengan minyak sebelum akhirnya berjalan dan berputar sendiri di air dalam baskom.

Kakek Badar membiarkan para pedagang musiman itu, mangkal dan bekerja di rumahnya, tetapi dengan perjanjian sewa yang ringan, karena mereka rutin setiap tahunnya menginap di rumah.

Mereka tidur dimana saja terutama di bagian tengah rumah yang juga berfungsi sebagai ruang tamu. Mereka menyusun ban menjadi empat bagian dan memasang lembaran papan di atasnya menjadikannya seperti tempat tidur sungguhan.

Dengan semua kesibukan itulah rumah Kakek Badar menjadi kantor, dan kantor menjadi rumah demi bisnis.

Maka jadilah rumah itu "Rumah Ban", "Tire House" bukannya "Tired House", karena seperti yang pernah anak-anak dengar dari Kakek Badar, ia memang akan berbisnis sampai pensiun nanti.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Aksi
Rekomendasi