13 April 1999.
Badai hujan dan petir serta angin kencang menghantam kedalaman hutan malam itu. Di dalam rumah tua bekas peninggalan penambang kayu, tampak seorang perempuan edan, sementara merapalkan sebuah mantra di depan seorang perempuan hamil yang tengah menggeliat di atas meja. Tangan dan kakinya diborgol, mulutnya dibungkam kain mori. Sungguh celaka, air ketubannya telah pecah, dan ia barangkali akan segera beranak.
Demikian pula, para jagoan pun muncul ketika sang agung di atas langit segera melenyapkan badai, setelah segerombolan para ajak melolong di atas gundukan tanah di tepi jurang sana.
“Juragan, itu rumahnya!” sergah seorang laki-laki di antara para begundal itu.
Sang juragan terperengah. Rentetan cahaya petir di langit, sengaja membuat kedua matanya membelalak. Maka ia bersiap menerima kenyataan, manakala kekasihnya sedang ditumbalkan kepada setan.
“Rengganis!” teriak si juragan menerobos masuk.
Sebuah kekuatan gaib sekonyong-konyong, tak mau meloloskan para jagoan itu.
“Kurang ajar!”
Si Perempuan edan, lalu berdiri tanpa sehelai kain di tubuhnya. Ia membungkuk di atas meja memandang kedua kaki Rengganis yang menganga. Jarinya menelusuk dalam-dalam, meremuk paksa—menggenggam keluar bayi yang masih ada dalam kandungan. Rengganis mengerang rasa sakit luar biasa. Darah kental menjuntai di tangan sang perempuan edan.
Bayi itu menangis kuat-kuat. Malaikat maut datang bertengger di bahu Rengganis. Darah mengucur tak henti, membuat ia tak bisa berumur panjang. Ia telah mengandung anak kembar. Segera si perempuan edan merobek paksa perut Rengganis dengan pisau. Ia bermain kasar dengan jari-jarinya mengeluarkan bayi yang satu di dalam perut. Mulut Rengganis mengeluarkan darah. Ususnya dikoyak keluar dan ia pun meregang nyawa memandang suaminya menyisakan sendu:
Si perempuan edan terpingkal-pingkal sembari melantunkan kidung tuah. Ia meraih jubah hitam di atas tanduk kambing dan keluar memperlihatkan pesona gelapnya, sebagai ratu beludak kepada para begundal di tanah keramat.
“Bajingan!” umpat sang juragan meledak-ledak. “Bunuh dia!”
Anak buahnya mulai mengeroyok si perempuan edan. Tak sampai ia mati, tubuh mereka tercabik-cabik serta dilambungkan angin celaka. Anak buahnya mati sia-sia. Tinggal sang juragan yang tersisa. Mata sang ajak kini menyala di kegelapan, sementara mengintai tumpukan daging di tanah.
Ia mengokang senapan: menembak membabi buta. Seperti angin sumilir berhembus, si perempuan edan bergerak—mencekik leher sang juragan ke atas lalu membantingnya ke tanah. Ia muntah darah. Sekonyong-konyong, perempuan cantik muncul dengan napas memburu menggenggam senter.
“Lepaskan dia!” teriak si perempuan cantik.
Aroma wangi menelusup hidung si perempuan edan. Ia mendengus sambil berkata, “Mau apa kau datang kemari gundik busuk?”
Sang juragan terkapar di tanah menunggu mati.
“Menagih janji.”
“Sudah kubayar lunas, sejak kau kuselamatkan dari tangan orang-orang sialan ini!”
“Belum semuanya.” Mukanya tegang bersungguh-sungguh. “Aku minta jangan bunuh juraganku!”
Si perempuan edan menyeringai. “Berisik!”
Si perempuan edan membungkuk, kemudian mencabut jantung sang juragan dan ia meninggal demikian. Perempuan cantik itu menutup mata.
“Jantung sialan ini yang telah menghabisi semua yang aku sayangi” katanya, “salahkah aku meremukkan jantung lembut ini?” Ia meremas jantung itu hingga hancur.
Si perempuan cantik tak membuka mata.
“Ambilah satu di dalam. Tapi jangan kedua-duanya.”
Setelah mengambil si sulung, perempuan cantik itu pergi sebelum matanya berkedip cepat mengeluarkan darah. Si perempuan edan tertawa terbahak-bahak menghampiri si bungsu.