Suntikan Penyesalan
Entah kenapa otak keras kepalaku ini tidak mendengar nasihat ayah. Beliau selalu mengingatkanku untuk menjaga kesehatan agar tidak mudah sakit, apalagi di posisiku yang sedang merantau di negeri yang jauh dari rumahku. Aku telah tinggal disini selama tiga tahun dan bulan depan seharusnya menjadi momen bahagiaku merayakan kelulusan mendapat gelar ahli madya. Tetapi kebahagiaanku hancur karena kelalaianku sendiri. Aku terlalu meremehkan pentingnya menjaga kesehatan dan sekarang menerima konsekuensinya. Seperti bekas luka yang tidak bisa hilang dan permanen, begitu pula penyakit yang kuderita ini.
Ini semua bermulai sejak aku mengunjungi dokter, mengeluhkan kakiku yang terus mengalami kram dan rasa laparku yang tidak kunjung reda walaupun sudah makan banyak. Dokter itu mulai memeriksa tubuhku dengan cermat mulai dari mengecek tekanan darahku hingga mengecek kadar gula. Setelah itu dia menanyakan gaya hidupku sehari-hari. Mendengar jawabanku, wajahnya terlihat sangat serius, wajahnya jelas menujukkan kekhawatiran, seolah-olah tahu aku terkena penyakit yang serius. Ekspresinya itu membuatku mulai takut mengetahui nama penyakit yang akan dia sebutkan.
Setelah beberapa detik yang terasa lama, dokter yang ada di depanku ini mengatakan aku terkena Diabetes. Perkataannya bagaikan palu yang menghantam keras. Bukankah umurku masih 22 tahun, masih muda tapi terkena diabetes? bukankah yang terkena diabetes adalah mereka yang sudah tua dan hampir mati? Badanku masih kuat dan muda, kenapa hal seperti ini dapat terjadi padaku? Semua pertanyaan itu berkecamuk di kepalaku, menyelimuti emosiku dengan campuran penyesalan, amarah, kesedihan, dan yang paling dominan, ketakutan. Penyakit ini membuatku teringat dengan om-ku yang saat itu meninggal karena diabetes, kakinya hitam bengkak dan menghitam membuat mereka yang melihatnya ingin muntah. Dan sekarang aku menderita penyakit yang sama?
Dokter menjelaskan leih lanjut bahwa pankreasku tidak lagi menghasilkan insulin secara normal yang berarti hidupku sangat bergantung pada suntikan insulin untuk menjaga kadar gulaku tetap stabil. Suntik insulin? Bukankah itu artinya diabetesku sudah sangat parah? Bagaimana ayah dan ibuku menanggapi ini? Ayahku pasti akan sangat kecewa dan ibuku pasti akan menangis mendengar hal ini. Dan aku? Aku hanya dapat menerima kenyataan pahit bahwa tubuhku sudah tidak bisa sembuh lagi.