April 2019, resepsi pernikahan Ade Sofian - Nurtalita Azmi. Suratku di antara dokumen rahasia.
Lima belas tahun sudah sejak kami duduk di bangku SMP berlalu, tapi aku masih kesulitan memahami karakteristiknya.
Rendy, Julian, atau yang lebih akrab dipanggil Fish adalah musuh, teman, sahabat, sekaligus cinta monyetku dulu. Orang yang pendiam, urakan, namun memiliki bakat yang menakjubkan dalam olahraga, khususnya sepak bola dan renang. Jangan tanya padaku kenapa dia tidak menjadi seorang atlet, karena aku benar-benar tidak mengetahuinya.
Di resepsi pernikahan sederhana teman SMP kami ini, bisa dikatakan ibarat reuni kecil-kecilan. Sebagian besar yang hadir adalah teman-teman yang tumbuh bersama selama dua tahun, mulai dari kelas 1D, namun sempat berpisah di kelas 2, dan akhirnya disatukan kembali di kelas 3D.
Obrolan seputar reuni pun tak jauh-jauh tentang kabar terkini, pekerjaan, hingga masa depan.
Ketika semua orang selesai menikmati makanan pembuka, aku duduk di samping Rendy, memberikan dokumen yang sangat rahasia, hampir mirip satu paket soal ujian nasional yang tersegel rapi.
Aku memiringkan kepalaku sambil berbisik padanya, "Setelah memberikan sampel naskah novel Into The Road: Magelang-Lombok-Rinjani, kamu tidak pernah memberikan tulisan-tulisanmu lagi untuk kubaca."
"O, ya? Kalau begitu, baca saja Karimunjawa Camp di platform XYZ." Rendy mengatakannya sambil menerima dokumen rahasia.
"Kenapa bukan aku yang menjadi pembaca pertamanya?! Menyebalkan sekali!" Aku cemberut.
"Maaf, bukan bermaksud begitu. Aku hanya takut jika kamu bosan membaca ceritaku." Rendy menunduk, mengelus-elus sambil memandangi dokumen rahasia. "Lagi pula, aku sudah lama mengurangi hobi menulisku dan fokus pada hobi-hobiku yang lain. Kalau pun aku ingin menulis, aku hanya ingin menulis untuk diriku sendiri," sambungnya.
Aku diam, tapi hatiku mencelus. Air mata menggenangi pelupuk mataku, seolah berlomba-lomba ingin keluar, namun tidak ada yang menetes sedikitpun. Rasanya ingin sekali memeluk sahabatku yang sedang putus asa ini. Jelas sekali aku sangat takut jika ia kehilangan semangat menulisnya.
"Ngomong-ngomong, Fish, petualangan selanjutnya ke mana?" tanyaku, mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
"Flores!" jawabnya mantap, namun dengan senyum yang dipaksakan. "Aku ingin berkemah di sepanjang jalan Labuhan Bajo sampai Larantuka selama 50 hari atau 2 bulan sekalian."
"Tanggung banget! Kenapa nggak 100 hari sekalian? Atau tinggal di Flores saja?" Sebenarnya aku cukup terkejut, tapi berusaha bersikap biasa saja. "Kalau begitu, aku selalu menunggu ceritamu," lanjutku sambil mengepalkan tangan.
"Rara." Rendy menatapku serius.
"...." Aku menjulurkan lidah, berharap ekspresi ini sangat manis karena aku sudah melatihnya begitu lama.
"Gimana kalau kamu yang menulis ceritaku nanti?"
Aku terkejut. "Kau bercanda, ya? Gak mungkin banget, lah!"
"Mungkin saja jika aku sudah menyiapkan bahannya. Lalu, kamu tinggal meraciknya dengan sudut pandangmu sendiri."
"Ta.... tapi.... kalau tulisanku jelek, gimana?" Aku sangat pesimis.
"Jika kamu tidak malu membaca tulisanmu sendiri, itu berarti tulisanmu layak dipublikasikan."
"Hm, begitu ya!?" Diam-diam, aku menyadari, ada sayap yang mulai tumbuh di punggungku. Lalu, aku ingin sekali mengepakkan sayap ini ke angkasa dan melihat dunia bagai burung penjelajah.
Akhirnya, resepsi pernikahan pun dimulai. Bunyi petasan mengawali keriuhan acaranya. Kemudian, diikuti dengan lagu pengiring khas adat Jawa, campursari.