Di awal kerjanya, Farah, pegawai baru bagian keuangan di kantor konstruksi, ditempatkan di bangunan lama yang sebelumnya kosong tak pernah disewa.
Sebenarnya letak kantor itu masih di pinggir jalan hanya saja bangunannya menjorok jauh ke dalam karena berhalaman luas.
Meski banyak kabar burung, bahwa gedung ini “dihuni,” Farah hanya menganggapnya sebagai cerita bualan. Ia ditempatkan di ruangan depan yang disebut bosnya “ruangan istimewa,” tapi ternyata juga paling dekat dengan dapur tua yang terkesan angker.
Suatu sore, saat para pegawai lain ke lapangan, Farah bekerja sendirian, mengejar deadline laporan keuangan.
Dalam kesunyian gedung, pintu pantry di belakang ruangan Rina berderit tanpa sebab. Tak ada angin, tapi suara itu terus terdengar setiap kali ia lewat.
Dapur tua di ujung bangunan itu memang sudah lama tidak dipakai dan selalu terbuka, menimbulkan perasaan mencekam.
Sejak kantor itu disewa, hanya dapur tua yang tidak tersentuh renovasi. “Biaya” yang menjadi alasan renovasi terbatas rupanya hanya kedok—dapur itu memang dihindari karena mitos yang mengatakan ada “penunggu” di sana.
Bahkan, ruang tidur pegawai yang paling sering diganggu sudah lebih dulu direnovasi untuk mengurangi aura seramnya. Setelah ruang itu ditempati, seorang staf pernah mendengar dentuman dari arah dapur, seperti ada yang berusaha keluar.
Cerita tentang sosok perempuan tanpa wajah di dekat pohon mangga yang besar di halaman pun kerap terdengar, meski Farah tidak pernah melihatnya langsung.
Sore setelah menyelesaikan laporan, Farah bersiap untuk salat Ashar di ruangannya. Baru saja berdiri di atas sajadah, tiba-tiba terdengar suara dari dalam ruangannya yang sudah ia kunci rapat.
Suara perempuan berbicara pelan, seperti memimpin rapat, dan lambat laun berubah menjadi suara ramai, seolah ada diskusi panas di dalam ruangan itu.
Farah mendekatkan telinganya ke pintu untuk mendengarkan, dan saat pintu ia buka, suara itu langsung lenyap.
Tapi ketika ia kembali berdiri untuk salat, suara tersebut muncul lagi, kali ini lebih gaduh, hingga terdengar seperti teriakan.
Dengan sedikit takut, Farah berbicara kepada “mereka” di dalam ruangan, “Tolong, jangan ribut!” Keheningan pun menyelimuti ruangan, tapi Farah sekarang seolah bisa merasakan tatapan dingin yang mengelilinginya.
Esok paginya, Farah bertanya kepada Danara, lelaki paruh baya yang tinggal di gedung sebelah bersama ibunya, Bu Aminah, bekas penjaga kantor lama yang jarang terlihat.
Dengan ragu, Danara menceritakan bahwa ruangan yang ditempati Farah dulunya adalah milik seorang direktur yang tewas di kantor tersebut.
Pegawai lain sengaja menghindari ruangan itu, dan seorang penjaga malam sebelum mereka bahkan pernah melihat printer bekerja sendiri mencetak pesan berulang, “Jangan pergi.”
Bu Aminah, yang terlihat misterius dan pendiam, hanya menatap dalam saat cerita itu diceritakan, seakan tahu lebih banyak tapi menolak berbicara.
Suatu siang, anak dari tamu penjaga malam tiba-tiba menangis sambil menunjuk pohon mangga di halaman. “Ada kakak di bawah pohon itu,” katanya sambil memegangi tangan ibunya.
Ketika Farah melihat ke arah yang ditunjuk, ia mendapati sosok perempuan berwajah kosong berdiri di sana, dengan baju putih lusuh. Sosok itu diam, tapi seakan memanggil dari kejauhan.
Setelah kejadian itu, Farah meminta agar semua ruangan diberi lampu, karena setiap melintasi dapur untuk menuju garasi Farah merasa diawasi. Kegelapan di sekitar ruangan itu, bayangan dari lampu redup, membuat pintu yang berderit menjadi semakin mencekam.
Suatu malam, saat sedang memeriksa ruangan sebelum pulang, ia melihat pintu dapur tua itu terbuka sendiri dan dari dalamnya, sosok perempuan tanpa wajah yang sebelumnya ia lihat di bawah pohon mangga kini berdiri di dalam dapur, tersenyum, lalu ia mendengar suara berat yang berbisik, “Kau sudah terikat.”
Pada tahun kedua, karena kejanggalan yang semakin meresahkan, kantor memutuskan untuk tidak diperpanjang kontrak sewanya.
Para pegawai satu per satu mulai berhenti, dan Farah yang ditelepon bosnya harus menyelesaikan pekerjaannya sebelum resign terpaksa bekerja lembur.
Pada malam terakhir di gedung itu, saat sendirian menyiapkan kepindahan, ia mendengar suara ketukan dari dalam dapur tua. Suara itu diiringi tawa perempuan yang sangat pelan tapi jelas berasal dari dalam dapur.
Sebelum pergi, ia menerima telepon dari seseorang yang memintanya menunggu, suaranya terdengar tidak asing, seperti suara Bu Aminah. Suara itu hanya berkata, “Jika kau pergi, akan ada yang kembali,” sebelum telepon tiba-tiba mati.
Saat mengecek ruangan untuk terakhir kalinya, Farah melihat pintu dapur sedikit terbuka. Dengan perasaan takut bercampur penasaran, ia mengintip ke dalam, dan kali ini dilihatnya ruangan dipenuhi sosok-sosok diam yang menghadapnya. Mereka semua tampak pucat, dingin, dan satu sosok wanita tua berdiri di depan, tersenyum tipis. Itu Bu Aminah, yang baru saja ia dengar di telepon.
Suara pelan berbisik di telinganya, “Kau tak pernah pergi dari sini, Nak. Kami sudah menunggumu.”
Esok harinya, kantor itu benar-benar kosong. Tak ada seorang pun yang datang kembali.
Seorang petugas kebersihan kantor dari penyewa baru yang membersihkan kantor menemukan ruangan bekas Farah berantakan, printer terus mencetak kalimat berulang kali, "Selamat datang di kantor ini. Kau tak akan pernah benar-benar pergi."
Sejak saat itu Farah tak pernah terlihat lagi. Ruangan Farah kini ditempati Dinara direktur yang pernah dinyatakan tewas setahun lalu, saudara kembar Danara, anak dari Ibu Aminah.