Tersebutlah di sebuah kota kecil, terselip sosok yang dikenal dengan sebutan Maklar. Nama asli? Tidak ada yang peduli. Ia bukanlah orang yang terkenal karena hal-hal baik, melainkan karena profesinya yang tak biasa—seorang tukang tagih dan juru tarik barang alias DC--Debt Collector --pinjaman online pinjol.
Bukan sembarang pekerja lapangan, Maklar dikenal galak dan sangat serius dalam “menjalankan tugas negara”.
Kata siapa ia tidak cinta negara? Justru dengan "menagih" orang-orang, ia merasa sedang membela “ekonomi digital”.
Di pagi hari yang cerah, Maklar tiba di kantor. Sebuah tempat mungil di ruko lantai dua, berderet dengan warung kopi dan toko sembako.
Di sana, sudah berjejer komputer-komputer bekas, layar monitor buram, dan meja yang penuh tumpukan berkas.
Setiap pegawai—mulai dari tukang telepon yang spesialis menakut-nakuti sampai pengawas akun nasabah—punya perannya sendiri. Namun, mereka tahu, kalau sudah urusan lapangan, semuanya diserahkan ke Maklar.
Hari ini, Maklar bersiap untuk operasi besar. Ia diberi misi, menyita sebuah motor dari seorang nasabah yang sudah menunggak lima kali cicilan. Orang itu—si Hendra—dipercaya memiliki track record “peminjam bermasalah”.
“Mak, lu tahu kan alamat si Hendra ini?” tanya Bos Iwan, atasannya, sambil menyerahkan selembar kertas catatan alamat.
“Tenang, Bos! Aku udah hafal tiap gang dan sudut di kota ini. Cari aja orang yang belum bayar ke kita, aku pasti tahu tempatnya!” kata Maklar dengan wajah penuh percaya diri.
Dengan langkah gagah, Maklar keluar dari kantor. Ia menyandang jaket kulit hitam dengan emblem perusahaan yang sudah agak pudar. Helmnya yang mengilat menyala terkena sinar matahari. Di balik helm itu, Maklar merasa dirinya bukan lagi orang biasa. Ia, dalam benaknya sendiri, adalah penegak “keadilan ekonomi”—garda depan yang melawan musuh-musuh “kestabilan keuangan”.
Sesampainya di rumah Hendra, Maklar mengetuk pintu dengan cukup keras, seperti drum band orkes perkusi. Pintu terbuka dan Hendra yang masih kusut mengantuk muncul di depan pintu.
“Eh, ada apa ya, Bang?” tanya Hendra dengan nada setengah terjaga.
Maklar langsung memasang ekspresi galak, seolah dirinya adalah algojo paling berwibawa.
“Bang Hendra, udah lupa ya sama janji-janji manis di awal? Ini udah kelima kali nggak bayar cicilan! Sekarang, saya harus bawa motor ini, atau abang mau bayar sekarang?” ujar Maklar sambil menyandarkan tubuh di pintu.
Hendra bingung. Istrinya melongok dari balik pintu, memandang Maklar dengan curiga.
“Maaf, Bang, kemarin ada keperluan mendadak, belum ada uangnya,” jawab Hendra dengan wajah bersalah.
Maklar tersenyum licik, seperti detektif yang menangkap tersangka utama.
“Ooh, belum ada uang ya? Yah, mau gimana lagi. Sesuai instruksi dari kantor, saya bawa aja motornya, ya!” Ia menyisir rambutnya dengan jari, memastikan penampilannya tetap rapi dan “sangar”.
Hendra terdesak.
“Bang, kasih waktu dua hari lagi, deh. Saya pasti bayar!”
Maklar tertawa kecil, menggeleng pelan, seolah menawarkan “pertolongan” tapi dengan syarat.
“Abang tahu nggak, waktu adalah uang, Bro! Jadi, gimana kalau abang bayar uang jaminan dulu, nih? Biar saya kasih waktu. Anggap aja ini biaya tambahan,” katanya, dengan nada sok akrab.
Hendra yang cemas akhirnya mengangguk. Ia pun menyerahkan uang “jaminan” itu dengan harap-harap cemas.
Maklar merasa menang lagi hari ini. Ia mengambil uang itu sambil menepuk pundak Hendra, lalu berkata, “Hidup itu penuh kejutan, Bang. Sadar aja bahwa setiap utang ada pemungutnya, hehehe.” Dengan langkah lebar dan gaya penuh percaya diri, Maklar pun melangkah pergi.
**
Namun, sebuah kejadian tak terduga terjadi minggu berikutnya. Saat sedang bertugas, Maklar tiba-tiba mendapat telepon dari Bos Iwan.
“Mak, kita punya klien baru nih. Tagihan menunggaknya lumayan gede. Urus, ya!”
“Oh, klien istimewa, Bos?” tanya Maklar penasaran.
“Iya, Mak! Namanya Ibu Ratna, tinggal di kompleks perumahan pejabat. Tapi hati-hati, dia itu istri seorang aparat tinggi, jangan sembrono,” jawab Bos dengan nada serius.
Maklar tertegun sejenak, tapi gengsi untuk menolak. "Aparat tinggi? Heh, aparat juga manusia," gumamnya. “Tenang, Bos. Maklar akan tetap profesional!” jawabnya percaya diri.
Maklar berangkat menuju rumah Ibu Ratna dengan hati-hati. Sesampainya di sana, ia mengetuk pintu dengan sopan. Seorang asisten rumah tangga membuka pintu.
“Permisi, Bu. Bisa ketemu dengan Ibu Ratna?” tanya Maklar dengan nada yang lebih halus dari biasanya.
Tak lama, seorang wanita paruh baya keluar. Ibu Ratna memandang Maklar dengan tatapan heran.
“Ada apa, Mas?”
Dengan senyum yang sedikit kaku, Maklar berkata, “Maaf mengganggu, Bu. Saya dari perusahaan pinjaman tempat Ibu pernah mengajukan kredit. Kami hanya ingin memastikan pembayaran sudah sesuai jadwal.”
Ibu Ratna mengernyit, wajahnya berubah masam.
“Oh, jadi kamu ini si Maklar ya?” tanyanya dengan nada meremehkan.
Maklar tersentak, tidak menyangka namanya dikenal oleh Ibu Ratna. Namun, sebelum ia bisa menjawab, Ibu Ratna melanjutkan, “Kamu tahu siapa suami saya, kan? Dia itu kepala dinas yang bisa menutup bisnis tempat kamu kerja kalau dia mau.”
Maklar tertegun. Keringat dingin mulai menetes di dahinya.
“Eh, begini, Bu, kami hanya bekerja sesuai instruksi kantor. Mohon pengertiannya, ya, Bu.”
Ibu Ratna tersenyum sinis.
“Maklar, kamu itu cuma pion di bisnis ini. Jangan pikir bisa seenaknya ngancam-ngancam orang. Kali ini saya kasih tahu kamu, kasih saya waktu sebulan, kalau tidak, saya bisa saja menyuruh suami saya untuk 'ngurus' kamu dan kantor kamu.”
Maklar mencoba tertawa gugup.
“Hehehe… iya, iya, Bu. Saya cuma menjalankan tugas.”
Ia pun mundur perlahan, merasa dirinya seperti serdadu yang kalah perang. Wibawa dan arogansinya langsung hilang di hadapan Ibu Ratna yang ternyata lebih “berkuasa”. Setelah kejadian itu, Maklar merasa kehilangan sebagian nyalinya. Diancam kok malah ngancam sih, batinnya.
Kembali di kantor, ia mencoba menutupi rasa malunya di depan teman-teman.
“Yah, gue kasih waktu lagi buat Bu Ratna. Kasihan aja, nggak tega gue,” ucapnya dengan nada seolah penuh empati, meski dalam hatinya ia merasa kalah telak, malu jika tak berbohong karena diskak ibu-ibu istri pejabat. Belum tahu si Maklar bagaimana kelakuan keluarga pejabat kalau kepepet. pakai jurus aji mumpung kekuasaan pastinya.
**
Hari demi hari berlalu, dan “juru tarik barang” itu tetap melanjutkan aksinya. Namun, ada satu hal yang berubah, di setiap aksinya, ia kini jadi lebih berhati-hati. Meskipun masih kerap bertindak galak, di dalam hatinya, Maklar mulai belajar bahwa “berkuasa” dalam bisnis pinjol tak selamanya membawa kemenangan.
Terkadang, ia adalah preman yang galak, tetapi di lain waktu, ia tak lebih dari seorang anak buah yang mudah dibalik keadaannya.
Maklar menyadari, kekuatan itu hanyalah sementara. Alamak--Maklar keder rupanya di gertak istri pejabat.