Flash Fiction
Disukai
1
Dilihat
76
NO MAVERICK!
Aksi
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

Jawara bukan nama aslinya, tetapi dia sudah dikenal orang-orang sejak lama dengan nama itu.

Sebuah julukan yang disematkan karena di awal kariernya, ia adalah sosok berani yang tak gentar melawan arus.

Saat pertama kali dipinang oleh partai, ia tak seperti kebanyakan politisi berdasi yang biasa berbicara soal kemakmuran dan keadilan hanya dari balik meja kayu jati. Tidak, Jawara berbeda. Ia datang langsung ke kampung-kampung, berani menyingsingkan lengan bajunya, menyentuh tangan-tangan kasar yang sehari-hari hanya bekerja untuk menyambung hidup.

Rakyat mencintainya. “Orang kita,” begitu orang-orang menyebutnya. Seorang pemimpin yang merasakan hidup miskin, yang tahu bagaimana sakitnya hidup dengan tekanan utang dan ketidakadilan. Jawara pun membuat gebrakan besar.

“Pejabat itu harus tahu rasanya makan nasi bungkus di pinggir jalan, baru ngerti rakyatnya,” katanya saat pertama kali dilantik. Ia bahkan tampil beda, tanpa jas, tanpa dasi, bahkan lebih sering datang ke kantor dengan motor atau berjalan kaki daripada mobil dinasnya.

Semua orang senang, karena pada akhirnya ada pemimpin yang “bisa mengerti kita,” ujar rakyat sekalian yang sangat banyaknya. Lalu Jawara menjadi harapan baru, sosok yang mereka kira tidak akan pernah lupa, sang maverick—pendobrak kemapanan kekuasaan yang dipenuhi formalitas.

Tentu saja, time goes by, waktu terus berjalan dan karier Jawara pun melesat--menanjak. Seperti pemain ular tangga mendapat "bonus" tangga tertinggi.

Gebrakannya disorot, lakunya ditiru, ucapannya dituruti dan didengar. Pokoknya ia menjadi kesayangan semua orang, apalagi partai peminangnya.

Lalu dengan cepat, ia membangun reputasi sebagai “pendobrak”—maverick, kata orang bule. Warga miskin, pedagang kaki lima, buruh kasar—semua mencintainya. Ia adalah Jawara bagi rakyat kecil, pelindung bagi kaum yang tak punya suara.

Namun, seiring kekuasaannya tumbuh, begitu pula dengan lingkaran pengaruhnya. Jaring-jaring politik terbentuk, mengitari dirinya, memaksanya bermain dalam permainan baru yang tak pernah ia kira akan ia masuki.

Kursi kekuasaan yang awalnya terasa “panas” mulai terasa hangat dan nyaman. Semakin lama ia duduk, semakin sulit baginya untuk bangkit.

Satu per satu, idealisme yang dulu ia jaga mati-matian mulai pudar. Mula-mula, ia hanya menggantikan motor bututnya dengan mobil dinas—demi keamanan, katanya.

Lalu, ia mulai jarang turun ke lapangan. Kalau datang pun, ia sekadar memberi salam sambil melemparkan senyum kaku dari balik barisan ajudan.

“Pastilah dia sibuk,” pikir rakyat, mencoba memaklumi.

Bulan demi bulan, waktu demi waktu, masa demi masa berlalu. Makin tinggi kedudukannya, makin keras angin berhembus kencang, maka ia mulai “berpegangan” pada apapun yang bisa membuatnya makin mapan.

Sifat kerakyatan yang dulu jadi kebanggaannya perlahan memudar—luntur, seperti kain berwarna yang dicuci dalam mesin.

Lambat laun, Jawara mulai melupakan akar yang membesarkannya. Kunjungan ke kampung-kampung kumuh yang dulu rutin ia lakukan kini hanya terjadi sekali dalam beberapa bulan, itu pun hanya saat ada kamera media yang ikut meliput.

Kini, ia lebih sering terlihat di acara-acara eksklusif bersama politisi lain, para pejabat dan pengusaha yang dulu tak pernah ia bayangkan berinteraksi dengannya. Rumahnya yang dulu sederhana kini berubah menjadi istana kecil, dikelilingi pagar tinggi dan satpam berjaga.

“Untuk keamanan keluarga,” begitu dalihnya saat ditanya.

Dan yang paling ironis, Jawara bahkan mulai membangun dinasti politiknya sendiri. Istrinya ditunjuk menjadi ketua lembaga ini dan itu, sementara anak-anaknya mulai mencicipi jabatan di berbagai instansi. Keluarga dan kerabat dekatnya kini mengisi kursi-kursi penting, semua berkat “rekomendasi” dari Jawara. Tak ada lagi visi kerakyatan yang dulu jadi semangatnya.

Rakyat marah?, iya tapi apa kuat menahan kuatnya kekuasaannya. Di suatu hari yang cerah, ketika, Jawara kembali “turun ke lapangan” untuk menyapa konstituennya. Tapi kali ini ia disambut dengan wajah-wajah asing dan tatapan yang tak lagi hangat seperti dulu, kecuali para pengawal dari partainya sendiri.

Tapi Jawara lupa, ai sibuk berbicara panjang lebar tentang pencapaian dan kebijakan yang menurutnya sudah ia perjuangkan untuk rakyat.

“Kita sudah sukses meningkatkan pembangunan! Pendidikan, kesehatan, semuanya sudah meningkat!” serunya dengan suara lantang.

Namun, di sela-sela kerumunan, seorang lelaki tua mengangkat tangan, memotong pidatonya.

“Tapi, Pak Jawara, sekolah kami masih bocor kalau hujan. Rumah sakit juga makin mahal, kami jadi nggak bisa berobat kalau nggak ada uang.”

Jawara tersenyum kecut, ia justru mulai merasa terganggu dengan suara-suara sumbang kritikan.

“Ah, Bapak harus sabar, pembangunan itu proses panjang,” jawabnya.

Kini kerumunan yang resah hanyalah “angka” yang perlu diamankan saat pemilu, sekadar suara dalam kotak pemilihan yang akan memperpanjang kekuasaannya.

Tak lama setelah itu, popularitas turun. Media mulai mengungkit skandal keluarganya, proyek-proyek yang tak kunjung selesai, serta gaya hidupnya yang berbanding terbalik dengan kondisi rakyatnya.

Rakyat semakin marah dan muak dengan kepura-puraan Jawara. Meskipun begitu, Jawara tetap kukuh di kursinya.

“Kekuasaan itu sulit dicapai, tapi lebih sulit dilepas,” begitu pikirnya.

Namun, Tuhan punya cara untuk mengingatkan manusia. Suatu hari, Jawara mendadak jatuh sakit. Dokter mengatakan penyakitnya cukup parah dan memerlukan perawatan intensif. Selama masa sakit itu, ia terkurung di rumah sakit, jauh dari kekuasaannya sendiri.

Di masa-masa kritis itu, Jawara mulai merenung. Persis seperti kisah Jendral Simon Bolivar yang terkurung dalam labirin masa Lalunya.

Lalu ia mulai menyadari betapa jauhnya dirinya dari nilai-nilai yang dulu ia perjuangkan. Seperti kacang yang lupa kulitnya, ia hanya sibuk memperkaya diri dan membangun dinasti.

Di akhir masa hidupnya, Jawara hanya bisa memandangi langit-langit kamar rumah sakit, merasakan kehampaan. Semua harta, semua jabatan yang dulu ia kumpulkan dengan susah payah, ternyata tak ada artinya.

Kini yang tersisa hanyalah sesal dan ketakutan akan kehidupan setelah mati, di mana tak ada yang bisa ia bawa kecuali keimanan dan ketakwaan yang akan menemaninya tapi sudah lama terabaikan.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Aksi
Rekomendasi