Seingat Sam, momen paling menakjubkan dalam hidupnya adalah ketika suatu hari, ayahnya yang menjemputnya dari taman kanak-kanak, mampir ke sebuah gedung kecil dengan kaca tebal. Di sana, mereka berhenti di depan mesin bercahaya biru dengan tombol-tombol yang terlihat seperti mainan. Itulah momen pertama dia bertemu dengan ATM mesin uang yang menakjubkan dan menjadi salah satu kenangan terbesarnya yang membuat Sam kecil punya hubungan spesial dengan mesin uang.
"Ayah, itu mesin apa?" Sam kecil bertanya sambil menunjuk ke arah ATM.
"Oh, ini mesin yang bisa ngeluarin uang kalau kita butuh, Sam," jawab ayahnya santai sambil memasukkan kartu. Setelah pencet tombol sana-sini, keluarlah lembaran-lembaran uang dari perut si mesin uang ATM itu.
"Wah!" Mata Sam membesar. Dia melihat mesin itu dengan kagum saat beberapa lembar uang keluar begitu saja. "Ayah hebat! , tinggal pencet aja, keluar uangnya.". Ayah hanya tertawa melihatnya.
Dalam benaknya yang polos, Sam langsung berpikir bahwa orang dewasa punya “kotak ajaib” yang bisa mengeluarkan uang kapan saja. Betapa enaknya hidup ayahnya?
Maka sejak saat itulah, Sam dewasa tumbuh dengan konsep uang yang baginya terlihat sederhana. Asal ada kartu atau akses, tinggal cari "mesin uang"-nya, dan beres!.
Ketika memasuki usia dua puluhan, Sam menemukan "pintu gerbang" barunya, pinjaman online dan paylater.
Hidup Sam tiba-tiba terasa lebih mudah. Mau beli barang mewah? Bisa!. Mau makan di restoran fancy? Gampang! Layanan paylater bahkan memberinya cukup batas kredit yang cukup untuk mendukung gaya hidup "sultan"-nya.
Sayangnya, begitu pinjol dan paylater mulai menawarkan kredit cepat, Sam tak melihat batas. Setiap bulan, uangnya habis lebih dulu daripada tanggal gajian.
Semakin hari, tumpukan utangnya pun makin tinggi. Tapi buat Sam, “Ah, cuma bunga kok. Bisa dicicil, pelan-pelan.”
Uang-uangnya yang melayang itu setelah dihitung-hitung ternyata memang ngak kemana. Bayar tagihan rutin bulanan, WIFI, Netfx, kredit cicilan, tagihan rutin bulanan hingga belanja gonta-ganti gadget keluaran serial baru.
***
Beruntung masih ada satu mesin uang lagi. Sam tak hanya mengandalkan pinjol.
Dia juga punya “cadangan mesin uang” yang lain, Ara, adik iparnya. Ara, yang bekerja sebagai akuntan, adalah seorang yang hemat dan teliti, dua kualitas yang di mata Sam tampak “konservatif banget”.
“Araaa, tolonglah kali ini aja, aku bener-bener lagi kepepet nih. Cuma sekali ini lagi!” kata Sam sambil menyodorkan wajah penuh penyesalan.
“Sam, ini sudah keberapa kali kamu bilang ‘sekali ini’? Terakhir aku hitung, sudah dua belas kali,” jawab Ara, sambil menghela napas panjang.
“Ya, kan… bisnis itu naik-turun, Ra. Kali ini aku yakin bisa balik modal,” Sam mencoba merayu dengan wajah penuh keyakinan.
Ara menatap Sam tajam. “Kamu tuh berbisnis atau cuma gambling sih, Sam? Tiap kali kamu bilang ‘ini peluang terakhir’, selalu ada ‘terakhir’ yang berikutnya.”
Sam hanya mengangkat bahu, mengabaikan kegeraman Ara yang jelas terpancar di wajahnya. Menurutnya, Sam tak pernah mengerti risiko dan reward dalam hidup, semuanya dianggap gambling. Nasehat cuma numpang lewat telinga kanan, keluar dari telinga kiri.
Menurut Sam, bukankah semua bisnis butuh modal dan keberanian untuk mengambil peluang? Begitu pikirnya.
Begitulah, hingga berdarah-darah bisnisnya, Sam terus mengandalkan “mesin uang” dari Ara, sambil tak henti-hentinya mengajukan pinjaman di sana-sini.
Akhirnya, setiap platform keuangan mulai menolak pengajuannya. Uang makin menipis, tagihan semakin banyak, dan bunga utang makin mencekik. Pada satu titik, Sam mulai kehabisan “ide cemerlang”.
Di saat seperti inilah Ara kembali menjadi andalan. Sayangnya, Ara sudah sampai pada puncak kesabaran.
“Sam, ini benar-benar sudah terakhir kali, ya? Kalau kali ini kamu nggak bayar tepat waktu, aku angkat tangan,” kata Ara tegas saat Sam kembali datang meminjam.
“Tenang, Ra. Aku pasti bayar. Pasti,” jawab Sam penuh keyakinan, meski dalam hati ia tahu uangnya hanya cukup untuk bertahan hidup beberapa minggu ke depan.
Tapi kenyataan yang paling realistis pun tak bisa memberinya titik terang.
Akhirnya, semua bencana yang Sam hindari pun datang. Hutang semakin tak tertangani, tagihan datang bertubi-tubi.
Ketika bank menyita mobilnya, Sam mulai merasa sedikit terancam, tapi ia masih berpikir, “Nggak apa-apa. Toh masih ada rumah.”
Ara akhirnya benar-benar lepas tangan setelah Sam terus menerus melanggar janji. Tak ada lagi yang bisa meminjamkan uang.
Gaji bulanan yang habis di hari ketiga pun tidak lagi menyelamatkan. Semua "mesin uang" di hidup Sam kini benar-benar berhenti produksi.
Ketika utang mencapai puncaknya, Sam akhirnya harus merelakan rumah yang tadinya menjadi satu-satunya harta miliknya.
Sadar?, berpikir waras?, iya, tapi semuanya sudah terlambat!.
Di kamar kos sederhana yang kini menjadi rumah barunya, Sam menatap kartu ATM yang dulu ia anggap sebagai jalan pintas untuk mendapat uang.
Semua utang yang selama ini dipikulnya, semua gaya hidup mewah yang ia jalani, tiba-tiba tampak seperti kekeliruan besar.
Ternyata tidak ada yang namanya mesin uang ajaib itu, persis seperti bayangannya ketika kecil yang tinggal pencet dan tarik lembaran uangnya.
Sekarang tak ada lagi yang bisa menyelamatkannya, kecuali berdoa kepada Tuhan dan bekerja sekuat-kuatnya seperti bakal mati besok.
Mesin uang yang ia bayangkan sejak kecil hanyalah bayangan yang keliru dari cara pandang yang tak pernah bertumbuh.
Mesin uang tetaplah harus “diberi makan” agar ketika dibutuhkan bisa mengeluarkan “isi perutnya”. Kini, satu-satunya yang ia miliki hanyalah kesadaran bahwa ia perlu membangun ulang hidupnya – dari nol, tanpa lagi berharap pada “mesin ajaib”.