Flash Fiction
Disukai
1
Dilihat
22
SUPARMAN INKUMBEN
Drama
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

Pemilu tahun ini, suasana kampung Kedungwungu mendadak riuh. Di sebuah warung kopi, warga ramai membicarakan calon-calon anggota dewan yang akan bertarung. Tapi topik paling panas, mengalahkan hangatnya kopi pagi tetaplah si Suparman Inkumben.

Meskipun bukan "Superman", tapi Suparman ini memang bukan tokoh sembarangan, selain dia petahana dua periode yang sudah duduk di kursi dewan daerah. Kini, dia mengincar periode ketiganya.

Suparman Inkumben bakal maju lagi dari partai Bintang Gemintang, partai dengan lambang bintang-bintang berkilauan, walau para pengamat politik kampung lebih sering menyebutnya “Bintang Kerlip-Kerlip” karena lebih banyak kilauan janji ketimbang tindakan nyata.

Kenapa Suparman dipilih, karena pada dasarnya orangnya pandai berbaur, ramah, dan murah senyum. Tapi di balik senyum itu, tersembunyi ambisi besar yang selama ini tetap membara.

Suparman sudah lama merancang rencana supaya bisa terus melaju tanpa perlawanan berarti. Maka, dia memutuskan untuk mencalonkan diri melawan kotak kosong, yang belakangan menjadi trend politik para penguasa jagat per-pemiluan.

"Aku sudah hitung semuanya, Pak Nur," kata Suparman dengan nada percaya diri, saat ia sedang ngobrol dengan tangan kanannya, Nurali.

Nurali, yang sebelumnya seorang mantan tukang tambal ban, sekarang didaulat menjadi “ahli strategi politik”, hanya bisa mengangguk-angguk mendengarkan. Meskipun wajahnya tampak agak ragu, dia tetap saja setia mendampingi.

"Kalau tidak ada calon lain yang maju, nanti otomatis aku melawan kotak kosong, kan?” Suparman tersenyum penuh keyakinan. “Warga tidak punya pilihan lain selain pilih aku!"

Nurali menggaruk kepala. "Tapi, Pak, ini trik yang riskan. Kalau orang-orang kesal, malah tidak datang sekalian untuk memilih--yang kosong malah kotak kita nantinya?"

Suparman tertawa. "Siapa bilang mereka tidak akan datang? Semua ini sudah kuatur. Aku sudah siapkan beras, minyak goreng, dan mie instan. Bagi-bagi sembako! Aku juga sudah pesan kaos-kaos bertuliskan 'Suparman Inkumben, Bintang Gemintang Pilihan Kita!' Siapa yang tidak mau datang kalau ada hadiah begitu?"

Nurali masih tampak cemas, namun Suparman segera menepuk bahunya. "Tenang saja, Nur! Warga itu gampang. Kalau sudah kita beri bingkisan, pasti mau pilih aku!"

Namun, rencana Suparman tidak sepenuhnya mulus. Beberapa pemuda di kampung, terutama Riko dan Andi, mulai mencium gelagat aneh dari Suparman yang kali ini tak punya lawan. Mereka sadar, ini strategi yang sengaja dirancang untuk menang tanpa perlawanan.

"Apa tidak ada yang berani maju lawan Pak Suparman?" tanya Riko kepada warga lainnya suatu sore di pos ronda. "Masa kita dipaksa pilih orang yang sama terus?"

Andi, yang dikenal sebagai orang yang kritis, mengangguk setuju. "Betul, masa tiap pemilu orangnya dia lagi, dia lagi. Seolah-olah nggak ada warga lain yang bisa jadi dewan.”

"Tapi, kalau bukan Pak Suparman, siapa lagi?" sahut Pak Hamid, salah seorang warga tua. "Orang-orang malas mencalonkan diri, jadi ya ujung-ujungnya dia lagi."

"Nah itulah pikiran yang salah, kali ini kita ganti pikiran--maksud saya ganti strateginya" usul Riko.

Riko dan Andi berpandangan sejenak. “Aku punya ide! Kalau Suparman bisa main kotor dengan melawan kotak kosong, kenapa kita nggak bikin kampanye besar-besaran buat si... kotak kosong itu sendiri?” ujar Andi.

Semua terdiam. Sungguh ide yang absurd, tapi makin lama dipikir, makin masuk akal.

***

Keesokan harinya, Riko, Andi, dan beberapa pemuda lainnya mulai menempelkan poster bertuliskan, "Kotak Kosong, Harapan Baru Karanganyar!" di dinding-dinding kampung.

Mereka bahkan membuat akun media sosial untuk mempromosikan kotak kosong sebagai simbol perubahan yang diharapkan oleh warga. Setiap malam, pos ronda dan warung kopi jadi tempat perbincangan seru tentang "calon baru" ini.

"Kalau pilih kotak kosong, siapa tahu pemerintahan bisa lebih bersih. Bukannya diisi orang yang cuma peduli sama kursi,” ujar Andi lantang di depan beberapa warga.

Satu per satu, warga mulai tergoda. Mereka membayangkan bahwa memilih kotak kosong adalah bentuk protes dan kesempatan untuk merubah keadaan.

Kini, Suparman mulai merasakan panasnya persaingan. Ini bukan lagi soal lawan politik biasa, tapi lawan yang tidak bisa dikendalikan. Kotak kosong mulai terasa lebih berbahaya dibanding calon yang nyata.

***

Suparman pun semakin sering mengeluh kepada Nurali.

"Apa-apaan ini, Nur? Kenapa orang-orang malah mendukung kotak kosong? Bukannya mereka tahu bahwa kotak kosong itu artinya tidak ada pemimpin?" Suparman tampak gusar.

Nurali, yang sedari tadi mencoba menenangkan, berkata, "Pak, mungkin warga bosan. Ini tanda mereka ingin perubahan."

Suparman berpikir keras. Setelah beberapa lama, ia tersenyum tipis. "Kalau begitu, kita pakai cara lama saja. Aku akan undang warga ke balai desa, beri mereka sembako lagi, dan ingatkan mereka pentingnya memilih calon nyata daripada... kosong!"

Suparman pun mengumpulkan warga di balai desa dan mulai berkhotbah panjang lebar tentang bahayanya memilih kotak kosong. Ia mengatakan, “Memilih kotak kosong sama saja dengan membiarkan kampung ini tak punya arah!”

Namun, anehnya, warga hanya mengangguk-angguk tanpa antusiasme. Bahkan beberapa orang mulai berbisik-bisik bahwa ini hanya taktik Suparman untuk bertahan di kursinya.

***

Hari pemilihan akhirnya tiba. Warga kampung berdatangan ke TPS dengan perasaan beragam. Beberapa datang karena ingin melihat hasil akhir drama ini, sementara yang lain sudah mantap memilih... kotak kosong.

Suasana tegang di TPS ketika petugas mulai menghitung suara. Dan hasilnya... Suparman mendapat suara yang banyak, tapi kotak kosong lebih banyak! Warga bersorak gembira. Mereka berhasil mengalahkan Suparman, meskipun dengan "calon" yang tak berbentuk.

Di rumahnya, Suparman duduk terdiam, merenungi kekalahannya. "Bagaimana bisa? Aku kalah... oleh kotak kosong!"

Nurali hanya bisa menepuk pundak bosnya dengan simpati. "Mungkin ini saatnya Bapak istirahat dulu. Rakyat sudah memberi isyarat."

Suparman terdiam, menatap jauh, mungkin memikirkan bagaimana ia bisa berubah, atau... mencari strategi baru untuk pemilu mendatang.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi