“Ibu jadi reunian hari ini?” aku menanyakannya karena kemarin Ibu minta diantarkan ke bekas sekolahnya untuk acara ketemuan dengan teman-teman lamanya.
“Yakin Ibu mau pergi juga”.
“Ya, kapan lagi bisa ketemu, mereka kan lagi ngajak kumpul”. Pikir ibunya disana pasti ada Faza, Dirman teman sekelas yang dulu pernah menaksirnya. Kira-kira setelah 27 tahun seperti apa rupanya, siapa istrinya dan banyak hal yang ingin dilihat dan ditanyakannya nanti jika bertemu lagi dengannya di acara reuni SD teladan itu.
“Jangan lupa pakai sweaternya ya Bu” aku mengingatkan karena udara terasa sedikit dingin berangin.
“Sapu tangan juga jangan lupa”, aku mengingatkannya seperti sedang memerintah anak kecil.
“Kiya berangkat sekarang?”. Ibu mengangguk dan langsung naik ke sepeda motorku.
***
Tak sampai 30 menit kami sampai ke titik yang diminta Ibu sesuai google maps. Ibu minta diturunkan di ujung jalan, karena jalanan setelahnya agak mendaki. Sekolah itu berada di balik bukit, tak terlihat karena sudah tertutupi ilalang.
“Ibu yakin turun disini?” aku menanyakannya sekali lagi untuk memastikan karena suasana terasa sunyi dan sekolah yang dibilang Ibu tidak terlihat dari tempat aku menurunkannya.
“Ini kan bekas sekolah Ibu, jadi ngak mungkin salah, udah sana pulang nanti kamu Ibu whatsApps pas mau pulang, mungkin agak sorean” ujar Ibu dan memintaku pergi, setengah mengusir.
Menurutnya disitulah titik mereka bertemu sesuai dengan pesan di whatApps dan google maps-nya.
Ibu langsung naik ke jalanan menuju arah sekolahnya saat terakhir aku melihatnya sebelum pulang. Aku merasa was-was tapi Ibu lagi-lagi memintaku segera pergi.
***
Menjelang maghrib belum ada kabar, aku memutuskan untuk menjemputnya tanpa meminta izin atau menunggu teleponnya.
Begitu sampai di tempat, aku langsung naik ke jalanan yang sedikit menanjak ke arah sekolah tempat Ibu diundang reunian.
"Lho Bu, kok duduk diluar?” aku keheranan karena Ibu duduk diluar menggigil kedinginan tanpa sweater.
"Mana sweaternya?" tanyaku kemudian.
“Dipinjam teman", katanya sambil menunjuk ke satu arah, dan sweaternya ada disana di atas sebuah batu.
“Terus, dimana sekolahannya Bu?” aku bertanya karena keheranan, sejauh mata memandang tak ada satupun bangunan di sekitarnya, seperti yang ditunjukkan oleh Ibu, kecuali rimbunan tanaman seperti hutan kecil.
“Dari tadi Ibu ngak kemana-mana disini menunggu teman-teman pulang. Mereka masih di aula sebelah sana” kata Ibu menunjuk sambil menahan gigil kedinginan karena senja telah turun dan adzan maghrib sudah berkumandang. Aku tak lagi memperhatikan tempat yang ditunjuk Ibu.
“Yuk kita pulang Bu”. Aku berikan jaketku untuk Ibu yang kedinginan.
Sewaktu menurun dari tanjakan, tiba-tiba Ibu meminta berhenti.
“Ada apa Bu?”
"Sebentar, ada teman Ibu di depan”, ujarnya langsung melompat dari jok.
“Pras ya?” ujarnya.
“Kok ngak ke reunian barusan?”.
"Tadi ada juga ada Faza sama Dirman nanyain kamu" lanjut ibu masih dengan antusias.
Yang ditanya justru bertanya.
“Kamu siapa?”.
“Maya, teman sekelasmu masa ngak ingat?”.
“Maya?," diam, lalu mengangguk.
"Faza sama Dirman?", tiba-tiba ia mengulang dua nama itu dan tersenyum.
"Kamu darimana?" tanyanya tiba-tiba.
“Dari sekolah, kan hari ini reuniannya, kamu juga diundang kata teman-teman, tapi aku ngak melihat kamu disana.”
“Sekolah?”
“Iya, sekolah kita dibalik bukit” ujar Ibuku sedikit memaksa, karena temannya terlihat linglung.
"Aku baru saja dari sana, acaranya ramai” ujar Ibuku lagi.
Pak Pras bingung, aku jadi ikut bingung.
“Jadi sejak Bram antar tadi Ibu duduk di batu itu?” tanyaku untuk meyakinkan.
Ibu menggeleng, “tadi itu, Ibu duduk dalam ruang kelas, Bram” ujarnya seperti kesal.
Tiba-tiba Pak Pras mendekat ke arahku.
"Ajak ibumu pulang", pintanya kepadaku.
"Dirman sama Faza yang barusan ibumu sebut baru saja meninggal karena kecelakaan pesawat kemarin, mereka dimakamkan disana", ujar Pak Pras.
“Sekolah yang ibumu sebut, tempat itu sekarang pekuburan umum.” Ujarnya lagi. Membuat bulu kudukku tiba-tiba berdiri.
Di tempat Ibu duduk tadi memang tak ada satupun tampak bangunan lain kecuali batu-batu, dan pohon-pohon cemara dengan rerumputan tebal yang menutupi.
***
Di tikungan sebelum jalan keluar kami dihentikan seseorang.
"Maya?, darimana?"
"Baru dari reunian." aku yang menjawab karena ibu seperti tertidur di belang jok sepeda motor tak bisa bicara lagi.
"Tadi juga jumpa sama Pak Pras di jalan" ujarku, siapa tahu ia kenal sesama temannya.
"Oh si Pras?"
"Iya, orangnya tinggi besar, berkacamata" jelasku lebih detil.
"Tapi maaf, bukannya dia baru meninggal minggu lalu?" tanyanya bingung.
Aku tidak tahu lagi mana yang benar. Jika teman ibu yang bernama Dirman dan Faza sudah meninggal, Pras juga begitu. Jangan-jangan yang ada di hadapanku sekarang juga sama. Apalagi sekarang sedang sandekala. Aku langsung minta izin dan bergegas, karena ibu juga sudah diam di boncengan motorku.
***
Begitu sampai di rumah, ibu terbangun. "Bram, Ibu darimana kok naik motormu?", tanya ibu keheranan.
"Kan baru pulang reunian".
"Reunian siapa?" tanya ibu.
"Perasaan dari tadi Ibu ngak kemana-mana, tiduran di kamar".
Sekarang giliran aku yang bingung.
Belakangan Ibu bilang sering bermimpi didatangi teman-teman lamanya yang sudah lama tak dijumpainya. Mungkin ia rindu.
Sepulang dari acara reuni itu Ibu jatuh sakit. Sebelum akhirnya pergi, dan meminta dimakamkan di bekas sekolahnya.