Senja mulai merambat turun, mewarnai langit dengan guratan oranye yang sendu. Mila berjalan perlahan di trotoar, langkahnya mengarah pada sebuah kedai kopi yang pernah menjadi tempat favoritnya. Bangunan kedai itu tampak sederhana, dengan papan nama yang warnanya sudah mulai pudar. Namun, bagi Mila, tempat ini menyimpan sebuah kenangan yang begitu hangat, sekaligus menyakitkan.
Dia berdiri sejenak di depan pintu, memandangi interior yang masih sama seperti terakhir kali dia datang. Meja kayu di pojok ruangan itu—tempat mereka biasa duduk berdua—masih berada di sana, tampak tak tersentuh oleh waktu. Mila menarik napas dalam, mengenang pertemuannya dengan Arga, lelaki yang pernah menjadi pusat dunianya.
Dulu, mereka sering menghabiskan sore bersama di kedai ini. Arga selalu datang dengan secangkir kopi hitam tanpa gula, sementara Mila lebih suka memesan teh herbal dengan tambahan madu. Di pojok ruangan itu, mereka berbicara tentang banyak hal: mimpi-mimpi yang mereka bangun bersama, rencana masa depan, dan cita-cita yang mereka yakini akan segera terwujud. Kedai kopi itu menjadi saksi perjalanan hubungan mereka yang manis, sampai akhirnya waktu menorehkan luka yang memisahkan mereka.
Mila berjalan perlahan menuju meja itu, menarik kursi dan duduk sendirian. Dia mencoba tersenyum, namun hati kecilnya merasa getir. Ia ingat betul bagaimana tatapan Arga saat mereka terakhir kali duduk di sini. Mata itu, yang dulu penuh cinta, perlahan memudar seiring dengan kata-kata perpisahan yang keluar dari bibirnya.
"Aku harus pergi, Mil," ucap Arga saat itu, suaranya parau. "Ada hal-hal yang tidak bisa aku jelaskan, tapi kita harus berpisah."
Mila menatapnya dengan mata berkaca-kaca, mencoba mencari alasan, mencari kepastian di balik keputusan mendadak itu. Namun Arga hanya menunduk, menyisakan seribu pertanyaan yang tak pernah terjawab.
Pikiran Mila melayang kembali ke masa itu, mencoba mencerna ulang setiap kata dan gerak tubuh Arga, berharap bisa menemukan alasan tersembunyi yang mungkin terlewatkan. Namun, waktu terus berjalan, dan jawaban yang dia cari tak pernah datang. Semua kenangan manis berubah menjadi misteri yang menghantui.
Sambil melamun, Mila tak menyadari kehadiran seorang pelayan yang menghampirinya. Pelayan itu tersenyum ramah sambil menyerahkan menu.
“Selamat sore, Kak. Mau pesan apa?”
Mila tersadar, tergagap sebentar, lalu mengangguk pelan. “Kopi hitam dan teh herbal dengan madu, ya.”
Pelayan itu mengangguk dan pergi, meninggalkan Mila yang kembali terbenam dalam lamunannya. Saat memandang ke luar jendela, dia melihat bayangan orang-orang yang berlalu-lalang, membawa cerita masing-masing. Dalam benaknya, Mila bertanya-tanya apakah Arga pernah merindukannya, apakah dia pernah menyesali perpisahan itu. Namun, pertanyaan-pertanyaan itu hanya bergema dalam hati, tanpa ada yang bisa menjawab.
Beberapa menit kemudian, pelayan datang membawa pesanannya. Aroma kopi yang pekat dan wangi madu menyentuh hidung Mila, membawa kembali kenangan masa lalu yang terasa begitu nyata. Dia memejamkan mata sejenak, menikmati aroma itu, seolah Arga masih duduk di hadapannya, dengan senyum lembut yang dulu selalu membuat hatinya hangat.
Namun ketika ia membuka mata, kenyataan kembali menyentak. Di kursi itu, tak ada Arga. Yang ada hanyalah bayangannya sendiri, duduk sendirian dengan kenangan yang kian terasa berat.
Tiba-tiba, suara lonceng di pintu kedai berbunyi. Mila menoleh, dan saat itu, dia merasa jantungnya berhenti berdetak. Arga berdiri di ambang pintu, masih dengan wajah yang sama, meski ada sesuatu yang berbeda dalam sorot matanya. Lebih dewasa, mungkin. Lebih tenang, tapi juga lebih asing.
Namun bukan itu yang membuat Mila tercekat. Di samping Arga, berdiri seorang wanita. Wajahnya cantik, dan senyumnya tampak begitu hangat. Wanita itu menatap Arga dengan cara yang sangat Mila kenal—tatapan penuh cinta yang dulu sering ia lihat di mata Arga, yang kini jelas-jelas bukan lagi untuknya.
Mila merasa ada sesuatu yang patah di dalam hatinya, namun dia berusaha menahan diri. Dia menunduk, berharap Arga tidak menyadari kehadirannya. Namun terlambat—mata mereka sudah bertemu, dan dalam sekejap, Arga menghentikan langkahnya.
Ada keheningan yang menegangkan di antara mereka. Arga dan wanita itu bertukar pandang, seolah berusaha memutuskan apakah mereka harus menyapa atau berlalu begitu saja. Namun, senyum getir Arga akhirnya mengalahkan kebisuan.
“Hai, Mila,” sapa Arga pelan.
Mila memaksakan senyum. “Hai, Arga. Sudah lama, ya.”
“Iya,” Arga mengangguk, tampak ragu. Wanita di sampingnya tersenyum sopan, sedikit membungkuk sebagai tanda penghormatan. “Ini Fina, tunanganku.”
Kata "tunanganku" itu menggantung di udara, terasa berat dan membuat dada Mila sesak. Dia berusaha keras menahan perasaannya agar tidak terlihat rapuh di depan mereka. “Selamat, Arga. Aku ikut bahagia untuk kalian.”
Arga tersenyum tipis, meskipun ada sorot bersalah yang tak bisa ia sembunyikan. “Terima kasih, Mila.”
Suasana di antara mereka terasa canggung, penuh dengan hal-hal yang ingin diungkapkan, namun tak terucap. Akhirnya, Arga memutuskan untuk pergi lebih dulu, sambil menggenggam tangan Fina dengan erat. Mila hanya bisa melihat mereka berjalan keluar kedai, menghilang di tengah kerumunan orang-orang di luar sana.
Mila memandangi kopi dan tehnya yang sudah mulai dingin. Rasa sesak di dadanya semakin kuat, namun dia tahu bahwa ini adalah kenyataan yang harus dia terima. Arga bukan lagi bagian dari hidupnya, dan ia tak bisa terus-menerus tersesat dalam kenangan masa lalu. Dengan perlahan, Mila meraih cangkir teh herbalnya, menyesapnya sambil menatap senja yang semakin pudar.
Dalam hatinya, dia berbisik pada dirinya sendiri, “Sudah waktunya melepaskan.”
Angin senja berhembus lembut melalui jendela, membawa ketenangan yang entah dari mana datangnya. Mila menutup matanya, membiarkan dirinya larut dalam kedamaian itu. Mungkin suatu saat nanti, kenangan ini tidak akan terasa seberat sekarang. Mungkin suatu hari, dia akan benar-benar bisa mengucapkan selamat tinggal.
Tapi untuk saat ini, dia hanya bisa duduk di sini, mengenang—dan perlahan-lahan, belajar untuk mengikhlaskan.