Pagi-pagi sekali Hans terpaksa kabur dari rumah setelah semalaman Rana ngambek, diam dan menangis. Motor Astuti 73 modifikasinya langsung diarahkan ke kantor Mac.
“Mac, aku punya naskah bagus buat kau," ujar Hans saat bertemu Mac di studio film yang juga kantornya.
"Tumben lapor aku pagi-pagi?."
"Iya, aku butuh duit!”.
“Itu bisa ku atur!, duduk santai dulu”. pinta Mac yang masih sibuk berkutat dengan kameranya.
“Tapi kali ini aku butuh banyak!.”
”Memangnya sebesar apa sih dompetmu?”
“Bukan itu, maksudku!”
“Lantas?”
“Aku terlilit rentenir lintah darat!” ujar Hans lugas dan cepat ke sasaran.
“Berapa?”
“Lumayan!”
“Iya, aku butuh nominalnya”
“700-800 juta aku pikir itu jumlah minimalnya”
“Gila!!, jangan main-main, jangan asal sebut, itu nyaris sepuluh digit bung Hans!”.
“Itu faktaku bung Macarena Nainggolan temanku!, aku tak mengada-ada, makanya aku akan jual naskah itu untuk kau” .
"Demi Rana Mac, please! , aku tak mau dengar dia nangis terus, cinta kali aku sama dia", Hans berterus terang.
"Tapi itu kan ulahmu sendiri" balas Mac ketus.
Hans tak menggubrisnya karena mood-nya sedang buruk, dan Hans terpaksa tak berbasa-basi kali ini, padahal mungkin ia bisa dapat cuan lebih banyak, apalagi jika filmnya bisa box office seperti tiga naskahnya kemarin. Mac langsung panen duit besar. Tapi ia terdesak tangisannya Rana yang memilukan di rumah yang tak sanggup didengarnya.
Hanya saja menurut pikirannya, ia bisa membuat naskah lainnya kapan saja selama Rana ada disisinya dan selalu menginsirasinya. Atau paling banter Hans berpikir setidaknya naskah buatannya bisa mendapat penggantian enkranasi yang sepadan saat jadi film. Mungkin itu kepuasan “kecil” daripada tidak sama sekali. Apalagi ia bukan penulis karbitan yang baru debut kemarin sore.
“Untuk berapa naskah?” tanya Mac penasaran
“Satu!”
“Satu?, kamu gila!!”, Mac menggeleng tak mempercayai pendengarannya sendiri. Bayangan budget tiba-tiba melintas, belum lagi kerepotan ngurus kru dan tentu saja memilih artis pemeran utama, pemeran pembantu, hingga para figuran!.
“Satu ini bisa box office tau!. Kau tak lihat bagaimana penonton menyukai komedi plus thriller percintaan punyaku?. Cerita ini jelas lucu dan menjual. Jika kau ragu aku akan tambahin, tapi itupun kalau terbukti tak jadi box office, pokoknya aku tak akan lari kemana. Naskah filmku akan dicari dan namaku akan berkibar, jadi aku tak akan bisa kabur darimu kawan lamaku, ayolah bantu aku sebelum gila dan kau tak akan mendapatkan apa-apa dari isi kepalaku yang kosong saat itu.” Hans mencoba mendesak.
“Itu kalau box office?, kalau ngak? Mac memasang wajah kesal karena seperti tak punya pilihan.
“Aku antar ke tempat Pras! Ujar Hans nyaris seperti tak peduli. Ia tahu Macarel tak mau berkonfrontasi dengan Prasetyo rival beratnya di PH sebelah.
“Kau jangan mengancamku” kali ini Mac dibuat kesal, tapi ia juga tahu Hans tak main-main dengan permintaan dan angka sebesar itu. Ia bukan jenis orang yang macam-macam kalau sudah memilih. Persis seperti ketika memilih Rana, perempuan yang kini menjadi istrinya, satu untuk selamanya. Bukan karena alasan satu istri saja tak habis-habis seperti ejekan Mac setiap kali melihat Hans begitu candu--bucin terhadap istrinya.
“Maaf Mac, aku tak punya pilihan. Kau tahu bagaimana cintanya aku sama Rana istriku. Itu satu-satunya alasanku membuat script film-filmku untuk kau” ujar Hans. Dan Mac merasa tak bisa berkutik dengan jawaban itu.
Rana tak hanya berwajah cantik, bertutur lembut, penyayang, apalagi terhadap anak-anak. Terlebih sikapnya yang tak pernah berlebihan termasuk ketika harus marah dengan hanya menangis dan diam. Jelas ia jenis perempuan idaman laki-laki, terutama Hans yang berdarah Batak dengan suara bariton yang tegas, tapi hatinya selembut salju—seperti kata Hans sendiri.
“Ah kau, mukamu saja yang garang, tapi mengeong di depan istri”, Mac nyaris tertawa ketika mengatakannya. Ia kenal Hans sejak lama, sejak masih sebangku di SMA Kebangsaan Jakarta, jadi ia yakin Hans tak akan marah jika ia menggodanya begitu. Hans tangguh dan tidak mudah ditaklukan Mac menyadari itu.
“Sialan!, kau pikir aku kucing!, kau harus belajar membedakan cinta dengan kekalahan”. Balas Hans sewot.
“Ya sudah, nanti kita beresin, cash setengahnya dulu, minggu depan sisanya” ujar Mac menawar sambil beranjak dari kursi kafe, seolah Hans pasti akan menerimanya.
“Cash now, or not!” ketika Hans mengucapkan itu, Mac menggeleng dan langsung mengajaknya ke kantor mengurus berkas.
Ia teringat Rana istrinya menunggunya di rumah, meski tak berkacak pingang dan bersuara keras, tapi suara merdu dan lembutnya ditambah tangisan membuat Hans luluh hancur berkeping-keping. Bagaimanapun asal muasal semua uang rentenir itu karena Hans sendiri, dan sekarang Rana istrinya ikut terbawa-bawa, karena ia yang jaga rumah dan para lintah darat itu sekarang menerornya.
"Berhentilah, Rana sayang aku paling tak bisa dengar kau nangis, aku akan cari uangnya dulu”. Ujar Hans ketika sebelum mengunjungi Mac. Seolah akan mencari uang sebesar 80 ribu untuk membeli beberapa liter beras.
Dan paling tidak, malam ini Hans tak perlu mendengar tangisan Rana lagi, karena itu bakal jadi alamat buruk. Bahkan unboxing pun bisa gagal!.
Mac janji setelah ini tak akan lagi berurusan dengan rentenir, pinjol, lintah darat dan binatang-binatang lain sejenisnya.