Flash Fiction
Disukai
1
Dilihat
5
Wife's Ghost Writer
Romantis
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

“Mac, aku punya naskah simpanan, aku lagi butuh duit nih!”.

“Itu bisa aku bantu, nanti aku yang atur!.”.

“Tapi aku butuh banyak”

”Sebesar apa sih dompetmu?”

“Bukan itu, maksudku!”

“Lantas?”

“Aku terlilit rentenir dan riba lintah darat!” ujar Hans lugas dan cepat ke sasaran.

“Berapa?”

“Lumayan!”

“Iya, aku butuh nominalnya”

“700-800 juta aku pikir itu jumlah minimalnya”

“Gila!!, jangan main-main, jangan asal sebut, itu nyaris sembilan digit bung Hans!”.

“Itu faktaku bung Macarel Nainggolan temanku!, aku ngak mengada-ada, makanya aku akan jual naskah itu untuk pembeli yang bersedia” , Hans terpaksa tak berbasa-basi. Meskipun mungkin ia bisa mendapatkan lebih, apalagi jika filmnya bisa box office. Panenannya bisa besar. Tapi ia terdesak tangisannya Rana yang memilukan di rumah yang tak sanggup didengarnya.

Hanya saja menurut pikirannya, ia bisa membuat naskah lainnya kapan saja selama Rana ada disisinya dan bisa selalu menginsirasinya. Atau paling banter ia berpikir setidaknya naskah buatannya sudah pernah dibuat film dan mendapat penggantian enkranasi yang sepadan. Mungkin itu kepuasan “kecil” daripada tidak sama sekali. Meskipun ia bukan penulis karbitan yang baru debut kemarin sore.

“Untuk berapa naskah?” tanya Mac penasaran

“Satu!”

“Satu? kamu gila!!”, Mac menggeleng tak mempercayai pendengarannya sendiri. Bayangan budget tiba-tiba melintas, belum lagi kerepotan ngurus kru dan tentu saja memilih artis pemeran utama, pemeran pembantu, hingga para figuran!.

“Satu ini bisa box ofiice tahu!. Kamu nga lihat bagaimana penonton menyukai komedi plus thriller percintaan milikku?. Cerita ini jelas lucu dan menjual. Jika kamu ragu aku akan tambahin, tapi jika terbukti tidak box office, aku tak akan lari kemana. Naskah filmku akan dicari dan namaku akan berkibar, jadi aku tak akan bisa kabur darimu kawan lamaku, ayolah bantu aku sebelum gila dan kamu tidak akan mendapatkan apa-apa dari isi kepalaku yang kosong saat itu.” Hans mencoba mendesak.

“Itu kalau box office?, kalau ngak? Mac memasang wajah kesal karena seperti tak punya pilihan.

“Aku antar ke tempat Pras! Ujar Hans nyaris seperti tak peduli. Ia tahu Macarel tak mau berkonfrontasi dengan Pras.

“Kamu jangan mengancamku” kali ini Mac dibuat kesal, tapi ia juga tahu Hans tak main-main dengan angka itu. Ia bukan jenis orang yang macam-macam kalau sudah memilih. Persis seperti ketika memilih Rana, perempuan yang kini menjadi istrinya, satu untuk selamanya. Bukan karena alasan satu istri saja tak habis-habis seperti ejekan Mac setiap kali melihat Hans begitu candu—bucin terhadap istrinya.

 “Maaf Mac, aku tak punya pilihan. Kau tahu bagaimana cintanya aku sama Rana istriku. Itu satu-satunya alasanku” ujar Hans. Dan Mac merasa tak bisa berkutik dengan jawaban itu.

Rana tak hanya berwajah cantik, bertutur lembut, penyayang, apalagi terhadap anak-anak. Terlebih sikapnya yang tak pernah berlebihan termasuk ketika harus marah dengan hanya menangis dan diam. Jelas ia jenis perempuan idaman laki-laki, terutama Hans yang berdarah Batak dengan suara bariton yang tegas, tapi hatinya selembut salju—seperti kata Hans sendiri.

“Ah kau, mukamu saja yang garang, tapi mengeong di depan istri”, Mac nyaris tertawa ketika mengatakannya. Ia kenal Hans sejak lama, sejak masih sebangku di SMA Kebangsaan Jakarta, jadi ia yakin Mac tak akan marah jika ia menggodanya begitu. Hans tangguh dan tidak mudah ditaklukan Mac menyadari itu.

“Sialan!, kau pikir aku kucing!, kau harus belajar membedakan cinta dengan kekalahan”. Balas Hans sewot.

“Ya udah, nanti kita beresin, cash setengahnya dulu, minggu depan sisanya” ujar Mac menawar sambil beranjak dari kursi kafe, seolah Hans pasti akan menerimanya.

“Cash now, or not!” ketika Hans mengucapkan itu, Mac menggeleng dan langsung mengajaknya ke kantor mengurus berkas.

Ia teringat Rana istrinya menunggunya di rumah, meski tak berkacak pingang dan bersuara keras, tapi suara merdu dan lembutnya ditambah tangisan membuat Hans luluh hancur berkeping-keping.

 “Berhentilah, aku paling ngak bisa mendengar kamu menangis sayang, aku akan cari uangnya dulu”. Ujar Hans ketika sebelum mengunjungi Mac. Seolah akan mencari uang sebesar 80 ribu untuk membeli beberapa liter beras.

Dan paling tidak, malam ini Hans tak perlu mendengar tangisan Rana lagi.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar