Lantun lembut suara Bob Marley mengiringi lenganku meraih cangkir bercorak hitam-putih. Pahit manis kopi hitam menghangatkan rongga mulutku. Gerimis sore menemani ritmik reagge lagu sang maestro berambut gimbal, selaras pada akhir hari yang tenang dan damai.
Sejenak suasana tenang terusik celoteh canda anak-anak yang main hujan-hujanan. Dari sela pagar rumah aku bisa melihat mereka sepertinya baru pulang sekolah. Sempat terpikir kalau mereka akan dimarahi ibu mereka, setidaknya karena seragam mereka basah dan tidak bisa dipakai untuk esok … oh, ralat! Besok hari libur. Aku lupa, dan sebenarnya tidak seharusnya aku lupa. Aku menikmati kopi dan senandung Bob Marley dengan premis besok hari libur. Lebih dari itu, besok bukan hari libur biasa. Tanggal merah. Entah libur apa, itu tidak penting. Tidak relevan. Libur tetap libur. Artinya aku tidak perlu mengajar.
“Kuulukkukuluk, hujan sing gede!” seru seorang bocah seolah merapal mantra mengundang hujan supaya turun lebih lebat lagi.
Entah sugesti atau memang hujan makin lebat, aku dengar ritmik hujan mengencang, namun tidak melewati batas definisi gerimis.
Aku sesap lagi kopi, agak bersuara. Suara yang mengingatkan aku pada istriku, yang selalu berkomentar, “Kayak yang nikmat,” setiap suara sesap minum kopiku terdengar. Aku tersenyum. Namun kali ini aku tidak dengar komentar itu.
Oh, jangan menyangka istriku sudah meninggal! Tidak! Tidak! Jangan biarkan imajinasi mendahului prasangka! Dia memang tidak ada di rumah, tapi sedang mengunjungi ibunya bersama anak-anak. Menginap. Aku tidak ikut karena harus mengunggah berkas administrasi guru. Tapi kalau mesti jujur, jikapun tidak harus mengerjakan administrasi guru itu, aku mungkin akan cari alasan lain untuk tidak ikut. Sepertinya aku memang membutuhkan waktu sendirian. Dan momen gerimis ini benar-benar mengakomodasi sisi sentimentil me-time ini.
Masih aku dengar celoteh bocah-bocah di depan rumah. Sepertinya ada air yang menggenang karena aku dengar cipratan-cipratan air yang dilompati. Tidak bisa aku lihat jelas selain dari sela-sela jeruji besi pagar yang memang agak rapat. Sepertinya bocah dan air sangatlah kompatibel. Aku juga ingat dulu suka hujan-hujanan, namun entah kapan bergeser menjadi enggan kena hujan.
Aku ingat, bahkan, dulu aku sampai dikurung emakku gara-gara suka main hujan-hujanan.
“Nanti kamu demam!” Begitu alasan si emak, setiap menutup pintu gudang tempat mengurungku kala hujan turun.
Aku sesap lagi kopiku sambil benak mengngat-ingat kapan terakhir aku dikurung si emak, namun gagal.
Aku simpan mug kopiku di meja teras dan hendak beralih mengambil ponsel, namun urung. Saat ujung jari tengah menyentuh casing ponselku, seketika terbersit pikiran kalau apa yang ditawarkan dunia maya bisa mengganggu suasana tenang dan damai sore ini. Jelas aku tidak mau.
Aku sandarkan punggung dan menatap kosong tirai air hujan yang turun dari atap rumah. Tidak ada yang aku pikirkan selain mengatur irama napasku. Savoring the peace and quiet, begitu orang barat bilang …. Memang ada harap kondisi ini berlangsung lama, tapi aku tahu dan sadar ini akan berakhir. Gerimis akan berakhir, senja akan redup ditelan gelap. Tenang dan damai akan berganti pergulatan hidup baik manis ataupun pahit.
Ya, aku tahu itu …. Tapi …, jikapun ini berakhir, semoga kelak aku temukan lagi momen seperti ini ….
Tiba-tiba lantuan suara Bob Marley terhenti, berganti bunyi nada panggilan ponselku. Segera aku angkat. Dari istriku.
“Mas! Ibu sakit!”
Aku tersenyum. Masa damai ini telah berakhir.
“Baik. Aku segera ke sana,” responku sambil beranjak dan menutup telepon.
Aku ambil mug kopiku sambil memutar langkah memasuki rumah untuk berganti pakaian. Sempat terhenti kala aku dengar ritmik hujan mereda, seolah mengizinkan aku untuk pergi dalam keadaan kering. Bocah-bocah itu pun telah pergi. Suasana yang mendadak sunyi itu, mengisolir suara ponselku yang telah kembali pada alunan suara Bob Marley.
“Time alone, oh, time will tell ….”