Apakah aku cukup adil untuk menilai kalau kita sebenarnya tidak punya bakat? Apa kita hanya mengelabui diri sendiri? Entahlah …. Tapi aku tahu aku tengah berdiri di lapangan ini, menunggu bola datang, menunggu bola untuk dikejar yang kemudian akan ditendang lagi …. Merebut bola atau direbut .... Sepertinya bodoh, tapi … mereka bersorak, mereka berteriak semangat; berharap di bunyi panjang peluit terakhir nanti mendapat kemenangan ….
Jikapun kita menang. Lalu apa? Kita pulang ke rumah masing-masing dan tidur—itupun kalau punya rumah, tapi pastilah kita akan tidur. Lalu bangun, lalu menjalani hidup, hari demi hari yang kemudian kita songsong kematian …. Lalu kita menghadap Tuhan dan Tuhan pun bertanya, apa yang telah kita lakukan dengan hidup kita? Haruskah aku menjawab, mengejar bola dan menendangnya?
Bola menghampiri dan aku menerimanya. Aku giring menuju ranah lawan, namun tidak lama.
Dua orang pemain lawan segera menghadangku dan aku tahu aku akan sulit melewati mereka, maka aku hanya bisa menendangnya lagi ke belakang untuk rekanku. Lalu dua pemain lawan itu meninggalkan aku sendiri.
Oh Tuhan, inikah hidup?
Tapi mereka bersorak! Mereka gembira seolah semua ini ada artinya! Apa aku saja yang salah melihat? Apa aku melihat dari sudut pandang yang salah?
Kembali bola datang menghampiriku.
Amarah dan putus asa seketika menguasaiku, membuatku memutuskan menendang bola sekuat tenaga hingga bola itu melambung naik, naik dan naik. Aku tahu, seharusnya aku tidak melakukannya. Tidak seharusnya aku menendang dengan alasan marah, karena aku tahu … aku cukup bisa mengerti kalau mereka tidak akan mengerti aku sebagaimana aku tidak mengerti mereka kenapa mereka tergila-gila dengan kebiadaban berkedok olah raga. Aku tahu, dengan menendang membabi buta tidak akan membuat mereka mengerti, terlebih lagi ketika bola itu naik, naik dan naik, lalu tanpa aku sadari arah tendanganku itu membuat bola datang ke gawang lawan dari atas. Mengingat jarakku cukup jauh dari gawang, sepertinya penjaga gawang tidak siap akan datangnya bola dan terlambat untuk melompat. Bola tipis menyentuh mistar gawang, namun berhasil menembusnya dan mendarat di dalam gawang tanpa menyentuh jaring.
Hening ….
Hanya sekejap ….
Lalu, mendadak sorak-sorai meledak bak langit akan runtuh!
Aku saksikan empat rekan timku menghampiri cepat, namun sensasi yang aku rasakan malah seperti gerak lambat sebuah tampilan video. Kebas. Nyaris tak berasa. Mereka melompat menerjangku, memeluk dan gembira. Menyoraki keberhasilanku mencetak skor. Hanya karena aku melampiaskan amarah ke gumpalan kulit bundar yang malang.
Inikah bakat?
Seviral apapun meme, “Tendanga Gledek” atau “Kaki Hercules” atau sekadar “MVP” setelah pertandingan nanti, aku tidak bisa mengklaimnya. Namun aku juga tidak bisa menahan tanggapan orang kalau aku orang berbakat.
Apa yang harus aku lakukan?
Sepertinya tidak ada. Hanya menggelinding seperti bola, menunggu tendangan-tendangan takdir menghantamku.