Namaku Jagachandra Sumanjo. Aku adalah anak dari orang tua yang kaya raya. Katanya kekayaan keluargaku adalah kekayaan turun temurun. Namun aku hanya hidup bersama bapak dan ibuku sampai usiaku 10 tahun saja. Bapak dan ibuku meninggal dan akulah yang membunuh mereka. Selain bapak dan ibuku, aku juga sudah membunuh semua pembantu di rumahku. Awalnya aku tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku ini, jika ada yang membuatku bahagia, maka cepat atau lambat mereka pasti mati.
Aku mendatangi seorang dukun untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Dan dari seorang dukun itu, aku mengetahui suatu kenyataan yang sangat membingungkan, entah ini bisa disimpulkan kejahatan atau ini bisa disimpulkan kebaikan. Ternyata ibuku melakukan perjanjian dengan makhluk gaib, dan dari perjanjian itu membutuhkan tumbal. Sebelumnya aku ini adalah anak yang sudah berpenyakitan sedari bayi. Kata dokter, aku menderita penyakit kanker darah yang tidak bisa disembuhkan lagi, dan usiaku tidak akan lama lagi. Karna itulah ibuku melakukan perjanjian dengan makhluk gaib untuk bisa menyembuhkan penyakitku.
Aku bertanya dengan dukun itu:
"Kenapa kedua orang tuaku dan pembantuku yang menjadi tumbalnya. Dan yang menjadi tumbalnya adalah orang yang membuatku bahagia?"
"Perjanjian yang ibumu lakukan itu hanya membutuhkan tumbal dari seorang yang tidak ada ikatan darah denganmu, yang bisa membuatmu bahagia,” jawab dukun itu.
Aku kembali bertanya lagi:
"Lalu kenapa kedua orang tuaku juga ikut jadi tumbal, bukankah mereka ada ikatan darahnya denganku?"
Dukun itu hanya diam, dan aku juga terdiam sejenak. Kemudian aku mulai menyimpulkan sendiri kalau sebenarnya aku bukanlah anak kandung dari orang tuaku.
Sejak saat itu aku memutuskan untuk tidak memiliki hubungan dekat dengan orang lain, karena takut membahayakan mereka.
Usia 13 tahun. Aku memesan makanan online. Dan yang mengantarkan makanannya ternyata seorang anak perempuan yang mungkin usianya tidak jauh denganku, dia datang mengunakan sepeda. Sebelumnya aku sudah mengirim pesan agar makanannya ditaruh saja di depan rumah. Tapi entah kenapa anak perempuan itu tidak mau menuruti pesan dariku.
Dia kembali membalas pesanku, begini: Om, bolehkah kita bertemu langsung ada yang ingin sekali saya katakan.
Aku balas begini: Langsung saja katakan lewat pesan ini.
Dia kembali membalas pesanku: Tidak bisa Om, perkataan saya terlalu panjang. Pada akhirnya aku memutuskan untuk menemui anak perempuan itu.
Dia memperkenalkan dirinya. "Hai Om, nama saya Duti."
Apakah aku kelihatan sangat tua, sampai dipanggil Om? tanyaku dalam hati saja.
“Apa yang mau kamu katakan?” tanyaku singkat.
“Begini Om, bolehkah Om pesan makanan dengan saya saja setiap harinya, pagi, siang, malam, saya saja yang mengantarkan Om makanan,” kata perempuan itu sambil menangis.
”Saya harus membantu ibu saya untuk membayarkan hutangnya Om. Kalau tidak, ibu saya akan masuk penjara.”
"Ibu saya sudah menghilangkan perhiasan milik temannya, lalu temannya meminta ibu saya mengganti semua emas yang ibu saya hilangkan itu. Jika tidak, ibu saya akan dilaporkan ke polisi dengan tuduhan pencurian."
Karena kasihan akupun menerima permintaannya.
Setiap hari aku bertemu dengan anak perempuan itu, aku merasakan sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan. Rasanya bukan hanya sekedar rasa bahagia. Bukan hanya rasa bahagia, bukan hanya rasa bahagia, bukan hanya rasa bahagia, bukan hanya rasa bahagia, bukan hanya rasa bahagia, bukan hanya rasa bahagia, bukan hanya rasa bahagia, aku mengucapkan kalimat itu beribu kali. Sampai aku teringat kisah bapak dan ibuku yang pernah ibuku ceritakan dulu. Rasa ini sama seperti yang dirasakan bapak kepada ibuku. Ini adalah rasa cinta. Aku jatuh cinta dengan perempuan itu. Tapi tidak, aku tidak boleh bahagia karenanya. Aku memutuskan untuk menjauhkannya dari hidupku. Aku bilang kalau aku sudah tidak mau makanan darinya lagi. Setelah itu dia tidak datang lagi, terakhir aku melihat dia menangis.
Usia 15 tahun. Aku sudah mencoba mendatangi banyak dukun untuk menghentikan perjanjian yang ibuku lakukan, tapi tidak ada satupun dukun yang mampu untuk menghentikannya. Aku menyerah dan aku memutuskan untuk melupakan perempuan bernama Duti.
Tapi usia 16 tahun, aku tetap mencintai Duti.
Usia 17 tahun, aku tetap mencintai Duti.
Usia 18 tahun hari ini, aku tetap mencintai Duti.
Namanya saja sudah memancarkan aura yang misterius dan sakral, seolah-olah, dia dilahirkan bukan untuk hidup biasa.
Bagiku, dia tak pernah membunuh siapa pun secara langsung, tapi setiap orang yang membuatnya bahagia, satu per satu, lenyap dari dunia.
Aku jadi teringat, Ayahnya Duti, bapak badut yang berhasil membuat Jaga tertawa, tewas dengan cara menyedihkan. Pertanyaannya, Jaga apakah benar-benar tahu badut yang sudah membuatnya bahagia meninggal?
"Jaga," yang namanya berarti pelindung, ternyata membawa kehancuran bagi orang-orang terdekatnya.
Hanya saja, terlepas Jaga mencintai Duti, benang merahnya bagiku kurang cukup kuat.
Begini:
Ketika Jaga bertemu Duti, anak dari badut yang pernah membuatnya tertawa, hubungan mereka seolah memercik kembali konflik batin yang berulang dalam hidup Jaga—dilema antara mendekat dan menjaga jarak.
Duti, yang mungkin