“Tidakkah kau diajarin untuk berbagi?”
“Memangnya Vito mau apel?”
“Tidak,’’ katanya singkat. “Aku semata memastikan sopan santunmu.”
“Doktor benci apel.”
“Hah?”
“Makan satu apel setiap hari, menjauhkan kita dari doktor.”
“Itu dokter.” Vito menghela napas. “Aku ini doktor.”
Memang benar kata orang-orang, para jenius adalah sekumpulan makhluk aneh. Vito adalah doktor muda yang mengajar sebagai dosen di kampus. Belum-belum, dirinya sudah dikenal sebagai dosen yang paling dihindari oleh para mahasiswa.
Galak, tugas setumpuk, pelit nilai.
Kombinasi paling mematikan.
Tidak ada yang bisa menaklukan Vito, hingga anomali kecil dan nyentrik hadir di kelasnya.
“Anaknya rektor ada di kelasmu, lho,” begitu kata dosen lain yang lebih senior—tak begitu tua juga sih—saat Vito bersiap untuk mengajar.
“Relasi internal bukanlah masalah,” katanya enteng.
Saat mendengar kata anak rektor, Vito membayangkan seorang mahasiswa baru yang masih semangat-semangatnya, membawa tas berisi buku tulis, referensi, dan dua bolpoin—satu hitam, satu berwarna.
Apabila ternyata dia lebih muda, paling tidak usia enam belas tahun berkat akselerasi ketika SD, SMP, dan SMA.
Namun, nyatanya dia benar-benar anak rektor.
Anak.
Tubuhnya hampir tenggelam di balik meja kelas. Tak ada buku catatan, apalagi referensi. Hanya dua bolpoin berwarna biru dan kuning. Itu pun digunakan untuk menggambar rumah kecil di tangannya sendiri.
“Kiwi, berhenti.”
“Aku tidak merusak fasilitas kampus.” Setidaknya, dia memang tidak mencoreti meja atau dinding.
Yang dibilang sebagai anak rektor, benar-benar anak. Bocah yang Vito ragu usianya genap sepuluh tahun. Dia sama sekali tak bisa diam. Duduk di kursi tak ada lima detik. Berjalan-jalan di sisi belakang kelas. Menengok keluar jendela—dia harus berjinjit.
“Kiwi, duduk.”
“Aku kan tidak ramai.”
Kemampuan beralasannya, membuat Vito sakit kepala.
“Vito terlalu banyak mengatur….”
Kiwi tak pernah secara spesifik menjadikan kelas menjadi tidak kondusif. Dia tak berisik sama sekali, berkeliling hanya di sisi belakang kelas, dan tak pernah mengganggu mahasiswa lain.
Namun, segala sisi dari gadis kecil itu, secara pribadi membuat Vito naik darah.
“Sudahlah, lagi pula dia tidak mengacau, ‘kan? Beri dia nilai A di semua tugas dan Rektor akan senang.”
“Tidak,” kata Vito tegas. “Anak itu harus didisiplinkan.”
“Vito….”
Begitulah, meski rekan-rekan sesama dosen menyarankan ini-itu, Vito tetap keras kepala. Dia tidak akan puas dan tenang sebelum anak kecil itu mau duduk diam di kursi, mendengarkan kelasnya, mencatat, dan membaca berbagai jurnal relevan—sungguh di luar nalar.
Vito tak pernah absen mengomelinya selepas kelas, tetapi anak itu tak bergeming. Dia diam, duduk—terkadang disuruh berdiri—menatap dosen muda itu. Sopan, tetapi seribu satu alasan selalu bisa diutarakan untuk mencari celah dari tuntutan Vito.
“Aku akan mendengarkan,” katanya, ternyata sambil berkeliling kelas.
“Aku akan duduk diam,” katanya, ternyata sambil bermain di meja.
“Aku akan mencatat,” katanya, ternyata sambil makan camilan.
“Duduk, menatapku, mendengarkan penjelasan, tidak bermain, tidak berkeliling kelas.”
Esoknya, benar dia menuruti semua ucapan sang dosen. Namun, yang tidak disangka oleh Vito, anak itu memindah kursinya dari deretan mahasiswa, menjadi tepat di samping papan tulis. Benar-benar memandang lurus ke arah Vito—dengan terlalu dekat.
Vito memijit kepalanya yang makin sakit. “Kamu sengaja?”
“Sengaja menuruti ucapan Vito? Memang. Vito kan yang bilang, mahasiswa harus menurut dengan dosen? Vito selalu saja mengatur.”
“Kamu begitu terampil… terampil dalam mencari-cari batas kesabaranku. Sungguh suatu kejeniusan.”
Satu hal yang Vito lengah: dia mengajar sejarah.
Sepenuhnya hafalan.
Kiwi memang belum sekritis mahasiswa, tetapi anak kecil begitu unggul di hafalan. Meski sepanjang kelas tidak bisa diam, sibuk sendiri, tetapi dia sesungguhnya mendengarkan setiap penjelasan Vito di kelas. Waktu-waktunya setelah kelas, dia habiskan berkeliling perpustakaan.
Vito sudah seperti orang darah tinggi, saat pekan ujian tengah semester usai dan Kiwi mendapatkan nilai yang termasuk bagus—terlalu bagus untuk anak seusianya.
“Mustahil!” Dia mendengus. Melihat nilai lembar jawaban ujian Kiwi di deretan teratas tumpukan kertas di mejanya, saat dia kembali ke ruang dosen setelah mengajar.
“Aku dengar Rektor membelikan kucing untuk anaknya, apa namanya, yang mirip macam itu? Oh, savannah. Tiga ekor! Anaknya begitu suka kucing, katanya.”
“Pantas saja dia begitu giat menghafal materi pelajaran kelas Vito.”
Vito tak habis pikir. Hasil ujian Kiwi benar-benar membuatnya tak terima. Seorang anak kecil yang terlalu cerdik untuk mengakali seluruh perintah hanya untuk membuatnya naik darah—atau mungkin sesungguhnya bocah itu hanya bersenang-senang sendiri, tetapi Vitolah yang terlalu sensitif.
Sementara itu, dosen-dosen lain di ruangan lanjut mengobrol. Kiwi memang kerap menjadi topik mereka, terlebih ketika Vito baru saja kembali dari kelas tempat bocah itu berada—dan tentu saja mengomel sendiri terkait tingkahnya.
“Waktu itu, belum lama sejak Rektor berduka atas kepergian istrinya. Beliau ingin membawa serta anaknya ketika bekerja, karena Kiwi tidak ada yang merawat di rumah. Karena kebetulan bersamaan dengan pendaftaran masuk kampus, beliau memutuskan untuk mengikutsertakan anaknya.”
Vito akhirnya menoleh, masih dengan muka marahnya yang kentara—terlalu kentara mengingat dirinya yang selalu blak-blakan akan ketidaksukaan. “Dan dia lolos?”
“Menurutmu? Apa alasan lain Kiwi ada di kelasmu?”
“Dia mengerjakan ujian dengan sangat sempurna.”
“Mustahil….”
Meskipun Vito ingin berpikir demikian, hasil ujian Kiwi benar-benar senada. Namun, skenario itu terlalu lucu. Kelasnya memang sedikit masuk akal karena sepenuhnya mengandalkan hafalan, tetapi… ujian masuk kampus? Mustahil bila seorang anak kecil mampu menyelesaikannya.
“Tunggu, memangnya ujian seperti apa yang dulu diberikan padanya?”
“Ujian menggambar.”
“Oh Tuhan—”
Rektor benar-benar menyentilnya sampai ke urat kesabaran terdalam. Kiwi sama sekali bukan anak ajaib yang terlampau cerdas, dia hanya kebetulan unggul di kecerdasan memori, begitu ambisi menghafal agar mendapatkan nilai ujian baik demi tiga ekor kucing.
Dua tiga hingga belasan kali tuturan bocah itu tentang betapa Vito suka mengatur, adalah pesan yang ingin disampaikan Rektor kepadanya. Kiwi, anak yang tak mau dikendalikan, merupakan perantara terbaik.
Vito seharusnya sadar, Rektor hanya menghukumnya atas sistem mengajarnya yang terlalu ekstrem.