Flash Fiction
Disukai
1
Dilihat
48
Someone Take Me Home
Drama
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Adinata duduk di salah satu bangku kayu panjang di sebuah warung nasi goreng pinggir jalan. Hujan turun deras di luar, suara tetesannya menimpa atap seng warung yang tipis. Di depannya, sepiring nasi goreng mengepul hangat, aroma gurihnya membangkitkan kenangan yang sudah lama terkubur. Warung ini sederhana—tanpa embel-embel dekorasi modern atau kesan mewah yang biasanya Adinata temui di restoran mahal yang sering ia datangi. Namun, di sini, ada sesuatu yang membuatnya kembali.

Ia mengangkat sendok, mengambil suapan pertama. Rasa nasi goreng itu segera meledak di mulutnya—gurih, sedikit manis, dengan aroma bawang putih dan kecap yang menguar. Rasanya tak bisa ia tolak, begitu familiar, begitu melekat dalam ingatannya. Itu adalah rasa yang selalu ia rindukan, tetapi sudah lama tak ia cicipi.

Rasa nasi goreng itu persis seperti buatan ibunya.

Kenangan pun melayang, seperti kilatan film lama yang tak diundang. Dulu, setiap Minggu pagi, Adinata sering terbangun dengan rasa malas, merasa bosan dengan rutinitas akhir pekan yang sama. Tidak ada yang spesial. Hujan sering kali turun, membuat suasana rumah semakin suram dan dingin. Namun, suara ibunya di dapur, gemericik minyak di atas wajan, dan aroma nasi goreng yang mulai menguar selalu berhasil membangunkan semangatnya. Itu adalah satu-satunya momen yang ia nantikan di hari Minggu—momen di mana dunia yang dingin dan sunyi bisa berubah menjadi hangat dan hidup hanya karena sepiring nasi goreng.

Adinata meletakkan sendoknya, matanya mulai terasa panas. Tetesan hujan di luar tiba-tiba terdengar lebih keras, seolah-olah menghujam dinding ingatannya.

“Masih terasa sama,” gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam gemuruh hujan. Tetapi tidak dengan kenangannya.

Kenangan tentang rumah itu—tentang keluarga yang sudah lama berantakan. Ayah yang pemarah dan ibu yang terlalu sering menangis dalam diam. Teriakan, pertengkaran, dan suara pintu yang dibanting. Rumah itu bukan tempat yang indah. Setiap sudutnya penuh dengan bayangan luka dan rasa sakit yang terlalu sulit dihapus. Namun, di balik semua itu, ibunya selalu menjadi satu-satunya sumber kehangatan. Masakannya, senyumnya, bahkan ketika dia lelah sekalipun, tak pernah berubah.

Adinata mengusap matanya yang mulai berair. Di warung kecil ini, ia duduk sendirian, jauh dari kehidupan mewah dan gemerlap kota yang telah membawanya pada kesuksesan. Ia telah mencapai banyak hal—gedung-gedung tinggi, kesepakatan bisnis bernilai miliaran, kehidupan yang diimpikan banyak orang. Tetapi entah kenapa, sepiring nasi goreng sederhana di warung ini, di tengah hujan yang menderas, membuatnya merasa kosong. Ada bagian dari dirinya yang hilang, bagian yang tak bisa dibeli dengan uang atau kesuksesan.

Dia merindukan ibunya.

Perlahan, ia menyeka air matanya. Sudah bertahun-tahun sejak ibunya meninggal, meninggalkan rumah penuh kenangan itu untuk selamanya. Setelah kepergiannya, rumah itu terasa semakin kosong dan hampa. Adinata memilih pergi—pergi sejauh mungkin, melarikan diri dari kenangan yang menghantuinya. Ia mendirikan imperium bisnisnya, meyakini bahwa dengan uang dan kekuasaan, ia bisa membangun kehidupan yang baru, yang jauh dari rasa sakit.

Namun, di saat-saat seperti ini—dalam kesendirian dan keheningan yang dingin—ia tahu bahwa tidak ada tempat lain yang ingin ia tuju selain rumah itu. Rumah yang menyimpan luka tetapi juga kehangatan.

"Mungkin semua ini sia-sia," bisiknya lagi pada dirinya sendiri. Keheningan di dalam warung menyerap suaranya, membuatnya terasa lebih nyata.

Ia merindukan hari Minggu yang biasa-biasa saja, di mana hujan deras membasahi tanah dan angin dingin menyelinap melalui celah-celah jendela. Ia merindukan sapaan lembut ibunya, suapan nasi goreng yang selalu terasa lebih istimewa karena dibuat dengan cinta. Namun, kini semua itu hanyalah bayangan di masa lalu.

“Mas, tambah nasi gorengnya?” suara penjual tiba-tiba membuyarkan lamunannya.

Adinata tersenyum kecil, menggeleng pelan. "Tidak, Pak. Terima kasih."

Dia mengembuskan napas panjang dan menyelesaikan suapan terakhirnya. Nasi goreng itu memang lezat, tetapi tidak bisa menggantikan kenangan yang hilang. Tidak ada yang bisa. Bahkan setelah suapan terakhir, rasa hampa itu tetap ada.

Adinata menatap keluar jendela, hujan masih terus turun deras. Dulu, hujan seperti ini selalu membawa kesedihan, tetapi kali ini, ia menyadari bahwa kesedihan itu bukan sekadar luka, melainkan juga bagian dari kebahagiaan yang pernah ia rasakan. Bagian dari masa lalu yang tak akan pernah kembali, tetapi selalu ada di sana, menghangatkan di saat-saat yang paling tak terduga.

Ia bangkit dari kursinya, merapikan jaketnya yang lembab karena embusan angin yang masuk dari luar. Sebelum melangkah keluar, ia melihat sekali lagi ke piring yang telah kosong di hadapannya, seolah berharap rasa itu bisa membawanya pulang, walaupun hanya sekejap. Tapi dia tahu, rumah itu tak lagi ada. Setidaknya, bukan seperti yang dulu ia kenal.

Saat ia keluar dari warung, angin dingin langsung menyambutnya, namun di dalam hatinya, ia merasakan sedikit kehangatan. Meskipun hidupnya penuh dengan kesuksesan, di tengah semua itu, ia sadar bahwa ia masih manusia yang merindukan rumah—tempat di mana kenangan, baik yang manis maupun pahit, selalu hadir untuk mengingatkan bahwa dia pernah memiliki sesuatu yang lebih dari sekadar kekayaan.

Hujan terus mengguyur, namun kali ini, Adinata tidak lagi merasa kesepian di tengah gemuruhnya. Ia menatap langit yang kelabu, berharap, setidaknya untuk hari ini, ia telah menemukan sepotong rumah dalam sepiring nasi goreng sederhana.

"Someone take me home," bisiknya pelan, berharap ada yang bisa mendengar.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi