Yuda duduk di bangku belakang kelas, memandangi jendela yang setengah terbuka. Angin sore menerpa wajahnya, lembut namun terasa dingin, seperti hidupnya yang belakangan ini sepi dan hampa. Suara gurunya menjelaskan pelajaran terdengar samar-samar di latar belakang, tetapi pikiran Yuda melayang jauh. Rasanya ia sudah kehilangan minat pada segalanya—pelajaran, teman-teman, bahkan kehidupannya sendiri.
Ia merasa tak punya tempat untuk bersandar. Orang tuanya sibuk bekerja, jarang di rumah, dan ketika mereka ada, percakapan yang terjadi hanya sebatas formalitas belaka. Teman-temannya pun terasa jauh, meski mereka berbagi meja dan tertawa bersama, ada jarak tak kasat mata yang memisahkan Yuda dari mereka. Dunia terasa tidak adil baginya. Kenapa semua orang terlihat bahagia, sibuk dengan hidup mereka yang cerah, sementara ia tenggelam dalam bayangan yang selalu gelap?
Saat bel sekolah berbunyi, Yuda mengemasi bukunya dengan pelan. Langkah kakinya keluar dari kelas terasa berat, seperti membawa beban yang tak terlihat. Jalan pulang terasa panjang, dengan langkah-langkah yang seakan-akan menggemakan suara kesendiriannya. Setiap rumah yang dilewati terlihat penuh kehangatan—anak-anak berlarian di halaman, tawa riang terdengar dari ruang keluarga. Tetapi bagi Yuda, semua itu terasa seperti gambaran dari dunia yang tak pernah ia miliki.
Sesampainya di depan rumah, Yuda melihat sesuatu yang membuatnya berhenti sejenak. Seekor kucing kecil duduk di depan pagar, matanya yang lebar menatap lurus ke arahnya. Bulu kucing itu berwarna abu-abu keputihan, kotor, namun ada sesuatu di matanya yang membuat Yuda tak bisa mengabaikannya.
Yuda mendekat perlahan, jongkok di depan kucing itu. "Kamu dari mana?" tanyanya pelan, meski ia tahu tak akan mendapat jawaban. Kucing itu hanya menatapnya, lalu menggesekkan tubuh mungilnya ke kaki Yuda. Seperti tiba-tiba saja, ada kehangatan yang menyeruak dalam hati Yuda.
Tanpa berpikir panjang, Yuda membungkuk dan mengangkat kucing itu. Kucing tersebut tidak menolak, malah mendekam nyaman dalam pelukan Yuda. "Aku bawa kamu masuk, ya," gumam Yuda, setengah berbicara pada dirinya sendiri.
Di dalam rumah, Yuda meletakkan kucing itu di atas sofa tua di ruang tamu. Ia lalu pergi mengambil secangkir susu hangat, menaruhnya di piring kecil, dan mendorongnya ke depan kucing itu. Kucing itu mengendus pelan sebelum mulai menjilatnya dengan tenang. Melihatnya, Yuda merasakan sesuatu yang jarang ia rasakan—sebuah kehangatan di tengah sunyi yang selama ini mengelilinginya.
Hari-hari berikutnya, kucing itu menjadi teman yang tak pernah ia minta, namun sangat ia butuhkan. Yuda memberinya nama Tomo—sebuah nama yang berarti teman dalam bahasa Jepang. Setiap pulang sekolah, Tomo akan menunggunya di depan rumah, seperti tahu bahwa Yuda membutuhkan kehadirannya. Mereka akan duduk bersama di ruang tamu, Yuda dengan buku-buku pelajarannya, dan Tomo yang sering kali meringkuk di pangkuannya.
Saat Yuda merasa dunia terlalu berat, Tomo ada di sana. Ketika ia merasa tak ada seorang pun yang peduli, Tomo akan menggeliat manja di dekatnya, seolah berkata bahwa Yuda tak pernah benar-benar sendirian. Meski Tomo tak pernah bicara, kehadirannya membawa ketenangan yang selama ini Yuda cari.
Namun, seperti semua yang indah dalam hidup, kebahagiaan Yuda bersama Tomo tidak bertahan lama. Suatu malam, hujan turun deras. Langit gelap, petir sesekali menyambar, membuat suasana semakin mencekam. Yuda terjaga di kamarnya, tetapi Tomo tak ada di sisinya, seperti biasanya. Hatinya gelisah.
"Tomo?" panggilnya sambil turun ke ruang tamu. Tak ada jawaban, hanya suara hujan yang deras di luar sana. Yuda membuka pintu depan, dan hatinya mencelos. Di bawah rintik hujan yang dingin, Tomo berlari menyeberang jalan. Ia terlihat kecil dan rapuh, berusaha menghindari genangan air. Tanpa berpikir, Yuda berlari keluar, menerobos hujan.
"Tomo!" teriaknya panik, tetapi saat ia mendekat, sebuah mobil datang dari arah berlawanan. Semua terjadi begitu cepat—mobil itu tak sempat berhenti, dan Yuda hanya bisa menatap dengan ngeri saat Tomo terpental ke pinggir jalan.
Waktu seolah berhenti. Yuda berlari mendekat, mengangkat tubuh kecil Tomo yang kini tak lagi bergerak. Darah mengalir dari mulut kucing itu, matanya yang dulu hangat kini tertutup selamanya. Yuda jatuh terduduk di jalan, tangisnya pecah bersama hujan yang tak kunjung re
“Tomo…” bisiknya. Suaranya tenggelam dalam gemuruh hujan. Dunia, yang selama ini terasa sepi, kini terasa hancur. Tomo adalah satu-satunya teman yang ia punya—dan kini, ia pun harus pergi.
***
Hari-hari setelah kepergian Tomo terasa hampa. Yuda kembali tenggelam dalam kesendirian, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Rasa sakit itu memang nyata, tetapi di balik rasa kehilangan itu, ada jejak kehangatan yang Tomo tinggalkan. Yuda mulai menyadari bahwa meskipun Tomo telah tiada, ia telah mengajarkan sesuatu yang berharga—bahwa dalam hidup yang kadang tidak adil, selalu ada tempat untuk kehangatan dan kasih sayang, meskipun datang dari hal-hal kecil.
Yuda masih ingat tatapan mata Tomo yang selalu menenangkannya, dan itu memberinya kekuatan untuk terus berjalan. Dunia memang kadang tak bersahabat, tapi ia tahu bahwa ia tak sendirian dalam menghadapi semuanya.
Di malam-malam sepi, Yuda sering kali duduk di ruang tamu, memandangi tempat di mana Tomo biasa meringkuk. Ia akan tersenyum kecil, mengenang saat-saat indah bersama kucing itu. Hidup tak selalu mudah, tapi di setiap kesunyian, ia menemukan bahwa ada secercah harapan yang bisa memberi kekuatan untuk terus melangkah.
Dan meski Tomo telah pergi, jejak kehadirannya akan selalu ada di hati Yuda—sebagai pengingat bahwa bahkan di tengah kesendirian yang paling dalam, selalu ada cahaya yang menuntun kita kembali ke kehidupan.