“Arye!”
Nama itu yang paling ramai disambut begitu parade dimulai. Rombongan aktor dari teater ayahnya menampilkan drama sembari berjalan berkeliling kota. Mereka akan berkunjung di tempat-tempat tertentu secara acak dan menampilkan drama.
Arye pertama kali turun ke panggung jalanan ketika berusia enam tahun atas izin—lebih tepatnya keinginan ayahnya dan tampil dengan peran alami tanpa skenario, hanya berbekal sebuah premis sederhana. Sementara para aktor lain akan berimprovisasi sesuai akting Arye; si lelaki Rastus.
Tiap kali teater mengadakan parade, Arye akan selalu ada. Tanpa para penonton menyadari bahwa si lelaki Rastus itu bukanlah Arye Rastus, melainkan saudara kembarnya, Hayes Rastus.
“Aku juga ingin bermain peran!” permintaan Hayes tak pernah didengarkan oleh ayahnya—mau berapa kali dia memintanya bahkan dengan segala tantrum maupun memohon dengan sebaik mungkin, tetapi akan selalu terwujud tiap kali Arye tampak tidak terlalu berselera ketika sang ayah memintanya untuk turun ke parade di jalanan.
Hayes mewarisi bakat ayahnya sebagai dramawan yang hebat. Dia mengamati Arye di setiap penampilan tanpa absen sekali pun, menemukan pola-pola, menerjemahkannya, membuat formula baru yang presisi, kemudian berhasil menampilkannya di atas panggung jalanan rombongan parade seolah-olah dia adalah Arye; dan seruan yang diberikan oleh para penonton adalah, “Arye!” Sebuah seruan yang hanya dianggap sebagai sorakan bodoh oleh Hayes dan tak pernah sedikit saja dipikirkannya lantaran satu-satunya yang penting bagi dia adalah berdiri di atas panggung.
“Arye, ketika di adegan itu, kau seharusnya melompat, tertawa, dan berputar-putar, bukankah begitu? Kau perlu untuk lebih bersemangat, tunjukkan dirimu dengan lebih banyak!”
Anak itu bergumam berpikir dengan senang hati. “Benar juga. Kakak selalu saja hebat dan benar!”
Hayes tersenyum.
Dia makin antusias. “Kalau begitu … apabila Kakak yang berada di adegan itu, akan bagaimana?”
Tawa ceria dan kebanggaan anak itu tidak pudar, tetapi dua detik keheningan tepat sesaat setelahnya, sudah cukup untuk memastikan bahwa Hayes berlagak tak tahu bahwa dirinya tak bisa mengatakan apa pun.
“Rastus!”
“Aku datang!”
Hayes melihatnya berlari menuju rombongan para aktor.
Parade dimulai kembali, seperti hari-hari biasa; dan semua yang terjadi di sana, terus berputar. Arye tampil, Hayes mengamati, Hayes tampil, Hayes memberikan nasihat kepada Arye, Arye mendengarkannya. Arye makin mirip dengan karakter yang dikatakan Hayes, dan Hayes makin mirip dengan sang adik yang ditirunya. Sebuah lingkaran kecil tanpa ujung antara meniru sebuah tiruan yang meniru.
Sedikit saja persepsi Hayes dan Arye meleset, anak-anak itu makin jauh dari jalur semula.
Sementara di luar dari itu semua, penonton tetap menikmati parade.
Hayes terlalu terpaku dan berusaha menjadi semirip mungkin dengan sosok ‘Arye’ yang ada di benaknya; dan tidak pernah tahu siapakah dirinya sendiri. Arye selalu mendengarkan Hayes sehingga kehilangan kesempatan untuk memerhatikan dirinya sendiri bahkan untuk sekadar tumbuh bergerak menuju sebuah individu tunggal yang sejati.
Minggu demi minggu tetap berlanjut. Parade masih terus berlangsung. Aktor-aktor hebatnya yang disukai semua orang. Sang tokoh utama, Rastus, yang terus mendapatkan sorakan makin kencang dari hari ke hari. Kerumunan penonton yang makin memadati sepanjang jalan setiap malam.
Panggung dari sepanjang jalan itu terasa makin luas, kerumunan penonton seakan-akan memberi tahu di mana sang bintang paling terang berada, cahaya bulan memancar lurus ke arah anak lelaki yang menjadi pusat seluruh mata memandang.
Rastus yang digemari, dinanti, dan dilihat oleh semua orang dengan sorak sorai paling kencang serta tatapan mata yang tak pernah lekang.
Arye; baik yang berwajah asli, maupun si sosok yang tersenyum di balik topeng sambil mengangkat jari telunjuk di depan bibir.
Tanpa mereka semua mengetahui, bahwa si kembar Rastus—yang mereka kenal sebagai si lelaki Rastus, tak pernah ada; semuanya hanyalah gambaran abstrak yang saling bertubrukan. Pada akhirnya hancur, jatuh, runtuh, berceceran, dan habis.
Akting alami yang dikatakan di awal, perlahan-lahan berubah menjadi sebuah aturan abstrak yang tidak jelas, menyeret keduanya ke dalam sebuah figura besar dengan ribuan goresan cat tak karuan di atas kanvas. Semua di balik sebuah parade paling berkilau dan meriah yang pernah ada.
Parade yang makin lama menjadi makin besar, makin menyoroti Rastus dan memberi mereka panggung yang seakan-akan tunggal hanya milik mereka. Mendorong kedua anak itu untuk makin dilihat oleh penonton; dan kehancuran itu dipamerkan oleh ayahnya seolah sebuah tontonan spektakuler.