Di bawah naungan sebuah batu, tawon membuat sarang. Ia hidup sebatang kara karena terusir dari kawanannya. Konon, ia telah melakukan kesalahan fatal; mencintai tawon yang bukan dari jenisnya.
“Kita kaum terpandang, Salman! Tawon pujaanmu hanya akan mencoreng kehormatan kita,” tolak ibunya saat ia minta restu guna mempersunting tawon betina, bernama Asmaul Husna.
“Tapi cintaku akan mengangkat derajatnya dari kaum pinggiran, Bunda!” balas Salman.
“Pergi kau! Tak ada tempat bagi pembangkang di sini,” bentak ayahnya.
***
“Jangan diam saja, anak muda. Kejar dan pertahankan cintamu!” nasihat si batu besar.
Tapi ia merasa sudah terlambat. Kekasihnya sudah bermigrasi ke hutan jauh.
“Kupikul cintamu sampai jauh, Sayang!” hanya itu yang bisa dikenang Salman sebelum Asmaul Husna pergi.
“Cinta membuat kita merana, Kawan! Aku tak berminat lagi,” balas Salman.
“Aku lebih menderita darimu. Kau hanya terusir, bukan? Karena cintaku pada seseorang, yang tentulah cinta terlarang, aku dikutuk menjadi Malin Kundang. Menjadi batu!”
Salman Kemaluddin terperanjat. Ia bergegas mengepakkan sayap. Bersiap hendak terbang tinggi.
“Hei anak muda...Tunggu!” teriak si batu besar.
“Aku akan menjemput cintaku. Menemukan Asmaul Husna. Peduli setan dengan silsilahku. Aku rela dikutuk jadi batu sepertimu...”