"Setiap orang tua bisa memiliki anak tapi tidak semua orang tua bisa mendidik anak dengan benar."
Aku secara tak sadar menjatuhkan air mata ketika membaca secarik kertas berisi kata-kata mutiara yang setiap kali diingat meninggalkan rasa trauma.
Pikiranku kalut, kosong dan hampa. Aku memeluk Ibu bila sosok raksasa itu hendak menerkam dan menindas diriku. Ia memegang teguh prinsip kekerasan fisik dan verbal sesuai dengan apa yang dipercaya oleh para orang tua terdahulu agar sang anak bisa mengerti dan menjadi penurut. Aku menahan tangis, sakit dan luka yang sengaja dipendam sebab tiada lagi tempat bercerita selain Ibuku sendiri. Namun, Ibu tidak selamanya berada disisiku. Beliau harus bekerja untuk menambah penghasilan. Begitupun dengan Ayah yang menjalankan profesinya sebagai tulang punggung keluarga. Di tengah kesepian itu, aku mengambil buku diary yang selama ini merupakan pelampiasan emosi. Aku tulis apa saja yang menurutku sangat sesak dan berat untuk ditahan.
"Jika aku tidak dianggap dan dihargai sebagai seorang anak maka untuk apa aku lahir ke dunia ini?"
Aku terdiam sebentar, menghapus jejak air mata. Sebegitu parahnya kondisi mentalku, setiap kali menunggu kedatangannya dari bekerja pastilah membuat hatiku berdegup kencang tak karuan. Tidak, bukannya aku senang Ayah kembali ke rumah dengan membawakan oleh-oleh atau cerita lucu tapi ia malah membawa emosi yang dilampiaskan kepadaku.
Di tengah jam istirahat, aku berbincang santai dengan sahabatku. Ia tertarik dengan topik seberapa asing kamu dengan ayahmu?
"Aku pernah menganggap ayahku sendiri seperti orang lain yang tidak aku kenal meskipun kami tinggal serumah."
Sahabatku mengernyitkan dahinya. "Huh? Bagaimana mungkin?"
"Waktu itu aku masih ingat duduk berdua di teras rumah sambil menunggu hujan deras reda dan Ibuku sedang sibuk menyiapkan sarapan. Normalnya setiap anak pasti berbincang dengan orang tuanya kan? Nah, kau tahu apa yang aku tanyakan dengan Ayah?"
"Apa?"
"Bapak dari mana ya? Kenapa duduk di sini? Nah Ibuku menimpali, itu ayah kamu. Masa kamu lupa sama ayah?"
Sahabatku tertawa hingga muncul suara ngikngik. Ia tidak menyangka hubunganku dengan ayah ibarat batu dan air. Keduanya tidak bisa menyatu dan tak sefrekuensi.
"Ayah. Sosoknya ada tapi aku tidak merasa kehadirannya membuatku bahagia malah ia meninggalkan beribu luka."
Satu hari sebelum perpisahan SMA, aku meletakkan sepucuk surat di kamar Ayah. Aku tahu ayah pasti tidak datang dan lebih memilih untuk bekerja dibandingkan melihat anak dengan bangga telah menyelesaikan studi belajar tiga tahun dan bersiap untuk kuliah.
Sepanjang hari perpisahan sekolah itu, aku tak biaa menutup rasa kesepian absolut. Di mana aku benar-benar sendirian tanpa ditemani orang tua atau keluarga terdekat.
Aku berusaha menutup isak tangisku dengan menutup sebagian wajah menggunakan tangan. Melihat bagaimana harmonis dan dekatnya keluarga teman-temanku merayakan perpisahan sekolah SMA yang artinya sebentar lagi akan memulai bangku kuliah sebagai mahasiswa. Aku sedikit iri, malah sangat iri. Mereka punya keluarga yang tersenyum bahagia ketika sang anak berhasil meraih prestasi dan perolehan nilai tertinggi bahkan memberi beberapa hadiah dan bingkisan sebagai ucapan terima kasih sudah berjuang sejauh ini.
"Satu, dua, tiga!"
Aku menjadi fotografer dadakan ketika teman-temanku tahu bahwa aku merayakan perpisahan sekolah tanpa ditemani oleh orang tua ataupun keluarga terdekat. Rasanya ... benar-benar hampa. Aku berjuang sendiri dan merayakan hari berbahagia ini sendirian. Aku tidak pernah berharap banyak bahwa Ayah akan datang ke sekolah dan melakukan sesi foto bersamaku.
Hidup semenyakitkan itu.
"Ayah. Aku sudah dewasa. Aku bukan anak kecil yang bisa dipaksa dan diberi kekerasan fisik hanya agar aku bisa mengerti? Tidak. Aku akan pergi dari sini."
"Pergilah jika itu jalan yang benar bagimu. Bapak minta maaf."
Ayah yang dulunya berlagak egois dan keras kepala itu pertama kali dalam hidupku mengucapkan permohonan maaf. Aku melenggang pergi dari sekolah, menghapus air mata yang berjatuhan dan segera menuju kos. mAku erebahkan diri ke kos dan menangis sepuas-puasnya.
"Aku sudah terbiasa seperti ini. Senang sendiri ... sedih sendiri ... tetapi aku bangga sudah bertahan sampai hari ini!"
Aku tersenyum tulus ketika menginjak area bandara. Impian yang sekadar hanya angan-angan belaka kini benar-benar terwujud. Kuliah di luar negeri.
"Mulai hari ini dan detik ini juga, aku meninggalkan sosok yang membuatku trauma sepanjang masa dan membuka lembaran hidup baru!"
"ALEX!"
"A—Ayah?"
"Ini buat kamu. Sampai jumpa."
Ya, kata-kata perpisahan yang sangat singkat. Sosok itu memberikanku sebuah jam tangan magnetik. Jam tangan yang dulunya menjadi saksi kekerasan yang dilakukan oleh ayahku. Ada kertas terselip di sana. Ayah hendak berkata bahwasanya, ia benar-benar malu dan minta maaf telah tega melakukan tindakan kejam di masa lalu. Ia sadar luka yang ada dapat disembuhkan tetapi tak dapat dilupakan. Bekasnya akan selalu ada untuk selamanya. Ia berpesan padaku untuk tidak segera menikah dan janganlah menjadi sosok seperti dirinya. Aku harus memutus rantai tindak kekerasan dan penyiksaan mental dari seorang ayah.