Flash Fiction
Disukai
0
Dilihat
13
Polusi dalam Politik
Drama
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Langit di Nusarta tak pernah lagi biru. Awan-awan kelabu menggantung rendah, seakan memaksa semua orang tunduk pada beratnya beban di atas kepala. Bau menyengat dari tumpukan sampah di pinggir jalan bercampur dengan asap kendaraan, menyesakkan paru-paru siapa saja yang melangkah terlalu lama di luar rumah. Orang-orang berjalan tergesa, sebagian menutup hidung dengan kain lusuh, yang lain hanya bisa batuk-batuk sambil terus melangkah.

Di tengah sesak yang membekap kota, baliho besar bermunculan. Wajah-wajah tersenyum terpampang di setiap sudut, janji-janji perubahan terlukis indah di atas poster yang warnanya mulai memudar oleh debu dan asap. Pemilu tinggal menghitung hari, dan polusi menjadi bahan kampanye yang terulang di setiap pidato—meski tak ada yang sungguh yakin perubahan akan datang.

Di ruang sempit dengan jendela besar yang menghadap ke kota, Arumi berdiri sambil menatap langit kusam di luar. Kemejanya rapi, tanpa cacat, namun matanya memancarkan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan. Dari layar ponsel di tangannya, pesan-pesan dari rekan partai masuk tanpa henti—memuji, mendesak, mengingatkan tentang "kesempatan emas" yang akan datang. Namun setiap pesan membawa beban yang semakin berat di pundaknya.

Dia ingat malam-malam panjang di rumah, ketika ayahnya berbicara dengan suara rendah di ruang makan, membahas strategi dan kekuasaan. Politik bukanlah hal baru bagi Arumi; ia tumbuh dalam lingkaran itu. Tapi berbeda dari mereka yang datang sebelumnya, Arumi tidak mencari kekuasaan semata. Mimpi yang ia genggam adalah kota yang bisa bernapas lagi, kota yang bersih, jauh dari bayang-bayang polusi dan permainan kotor.

Namun, janji-janji idealisme itu tampak rapuh ketika Arumi duduk di meja pertemuan yang dingin. Di hadapannya, secangkir kopi masih mengepul tipis, namun pikirannya jauh dari aroma pahit yang memenuhi ruangan. Di seberangnya, senyum dari perwakilan industri besar terlihat begitu ramah, seakan tak ada dosa yang mereka tinggalkan di tanah ini. Kontrak-kontrak terbuka di depan mata, menawarkan dukungan finansial besar untuk kampanyenya. Arumi tahu, satu tanda tangan bisa memuluskan jalannya menuju kursi kekuasaan. Tapi apa artinya semua itu jika kota tetap tercekik?

Seorang pria paruh baya dengan jas mahal bersandar santai di kursinya, wajahnya dihiasi senyum tipis yang terlatih.

“Ini hanya formalitas, Arumi,” ujar pria itu, suaranya datar, namun penuh keyakinan. “Tanda tanganmu, dan kita akan memastikan kampanyemu berjalan mulus.”

Arumi menggigit bibirnya pelan. Kata-kata itu berputar di kepalanya, bergema lebih keras dari yang seharusnya. Pria itu bukan orang asing—dia perwakilan dari Koalisi Nusarta Maju, kelompok yang sudah lama membayangi politik Nusarta. Dukungan mereka seperti pintu gerbang menuju kemenangan, terutama bagi kandidat muda sepertinya. Namun di balik semua janji itu, ada harga yang tak terucapkan. Koalisi Nusarta Maju punya hubungan erat dengan industri yang setiap hari menyelimuti kota dengan asap tebal dan limbah. Dukungan dari mereka berarti berkompromi dengan mimpi kotanya yang bersih.

Di sudut ruangan, ponsel Arumi bergetar pelan. Pesan singkat dari ayahnya muncul di layar: “Ini bukan saatnya idealis. Jangan bodoh.” Kalimat pendek, tapi penuh tekanan. Ayahnya, veteran politik yang sudah kenyang asam garam, mendorongnya untuk menerima tawaran itu. Begitu pula rekan-rekan partainya. Semuanya tahu, dana dari Koalisi Nusarta Maju akan menjamin kampanye berjalan dengan mudah.

Arumi menatap jendela di belakang pria itu. Di luar, kabut asap tipis menutupi langit senja. Ia tahu, jika menolak, kampanyenya akan lumpuh. Tak ada cara lain untuk menyaingi lawan-lawannya tanpa dukungan besar. Tapi menerima, berarti ikut menyuburkan racun yang selama ini membekap Nusarta.

"Jadi, bagaimana?" suara pria itu terdengar lagi, membuyarkan lamunannya.

Arumi menarik napas panjang, tangan gemetar di atas pulpen.

Malam sebelum pertemuan itu, Arumi menemukan Adam di ruang tamu kecil mereka, duduk di lantai dengan setumpuk dokumen dan foto-foto berserakan di sekitarnya. Wajah Adam tampak lelah, tapi sorot matanya penuh dengan tekad. Di salah satu foto, terlihat anak-anak bermain di bantaran sungai yang berwarna hitam pekat. Di gambar lain, seorang ibu memeluk anak kecil yang mengenakan masker pernapasan. Foto-foto itu tak butuh penjelasan; semuanya adalah cermin dari kehancuran yang sedang terjadi di Nusarta.

Adam melirik ke arah Arumi tanpa berkata-kata, lalu menyerahkan sebuah laporan kecil. “Ini data terbaru dari kampung sebelah. Puluhan anak sakit sejak pabrik baru itu beroperasi.”

Arumi diam, memegang laporan itu tanpa membacanya. Ia sudah tahu isinya. Sejak bersama Adam, ia sering mendengar cerita tentang sungai yang tak lagi mengalir jernih, tanah yang kering dan pecah-pecah, serta udara yang semakin sulit dihirup. Semuanya terekam jelas di benaknya, namun kini, beban itu terasa semakin berat. Di kepalanya, suara-suara dari partai, dari ayahnya, terus bergema—menggoda dengan janji-janji kemenangan dan kekuasaan.

“Aku butuh kamu, Sayang,” kata Adam lembut, tapi tegas. “Kita bisa lakukan ini bersama. Kota ini butuh lebih dari sekadar janji.”

Arumi menghela napas panjang, matanya terpaku pada gambar anak kecil dengan masker itu. Pandangan Adam yang penuh harap menyelimuti pikirannya, membuat pilihan di depannya semakin sulit.

Dan momen yang paling menentukan akhirnya tiba, sorot lampu terang menerangi wajah Arumi di atas panggung, sementara mata ribuan orang, baik di ruangan maupun di depan layar televisi, tertuju padanya. Debat publik ini terasa mencekam; semua menanti jawaban semua calon pemimpin mereka. Di belakang kamera, Arumi bisa merasakan tatapan dingin dari tim Koalisi Nusarta Maju, dan di sudut pandangnya, Adam berdiri di antara kerumunan, wajahnya penuh harap.

Suara moderator menggema, "Arumi, sebagai calon muda yang menjanjikan, bagaimana Anda menanggapi krisis lingkungan di Nusarta?"

Suasana hening. Mikrofon di depan bibirnya terasa berat, seakan menuntut kebenaran yang tak ingin ia ucapkan. Arumi menggenggam podium erat-erat, jantungnya berdetak kencang. Kata-kata Adam, dokumen yang ditunjukkannya, wajah anak-anak yang sakit—semuanya berputar di benaknya. Tapi begitu pula janji kekuasaan, suara partai, dan bisikan ayahnya.

Arumi menarik napas panjang, merasa beban yang menyesakkan dada. Semua mata tertuju padanya. Di belakang senyuman hangat yang dipaksakan, pikirannya berkecamuk. Kata-kata yang telah ia latih dengan baik mengalir perlahan, suaranya gemetar, tapi jelas. "Saya berkomitmen untuk menjaga Nusarta, memulihkan lingkungan, dan... memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan."

Kata-kata itu terucap, namun hatinya mencelos. Wajah Adam perlahan berubah. Tak ada seruan, tak ada tepuk tangan. Hanya tatapan kecewa yang tak bisa disembunyikan. Suara gemuruh dari kerumunan mulai terdengar seperti deru angin di telinga Arumi, tetapi yang lebih menyakitkan baginya adalah melihat punggung Adam yang menjauh, semakin kecil, tenggelam di lautan manusia.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar