Hujan reda, jejaknya hilang. Namun, kenangan tak pernah lenyap.
Di trotoar basah itu, Shanaya berdiri memandangi jalan yang lengang. Udara segar beraroma tanah basah menyelinap di sela-sela napasnya, tapi pikirannya tersangkut pada wajah yang tak lagi bisa ia sentuh. Setahun lalu, mereka pernah berdiri di sini, di tempat yang sama, saling bertukar senyum di tengah rinai hujan, berpayungkan harapan yang kini tinggal serpihan.
Ia menunduk, memandangi genangan yang memantulkan bayangan dirinya. Bayangan itu tak lagi sama. Ada garis-garis luka di sudut mata, ada rindu yang tak kunjung hilang. Shanaya menghela napas panjang, seolah ingin melepaskan beban yang beratnya tak terukur.
“Shanaya?” Sebuah suara membuyarkan lamunannya.
Ia berbalik. Wajah itu, yang ia pikir hanya bisa muncul dalam kenangan, kini berdiri nyata di hadapannya. Raian, dengan senyum yang tak pernah berubah, meski matanya menyimpan kesedihan yang serupa.
“Hai,” jawab Shanaya serak, nyaris berbisik.
Mereka berdiri canggung, dua orang yang pernah saling mencintai tapi terpisah oleh kenyataan. Hujan yang tadi reda meninggalkan genangan yang sama seperti kenangan mereka: tak terlalu dalam, tapi cukup untuk memantulkan apa yang telah hilang.
“Kenapa kamu di sini?” tanya Raian akhirnya.
“Aku sering datang ke sini,” jawab Shanaya. “Entahlah, mungkin aku berharap menemukan sesuatu yang hilang.”
Raian mengangguk pelan. “Aku juga. Tapi jejak itu sudah tak ada, kan?”
Shanaya tersenyum pahit. “Jejak memang hilang, tapi kenangan tetap tinggal.”
Diam menyelimuti mereka, seperti jeda panjang dalam sebuah lagu yang tak pernah selesai. Namun di hati mereka, melodi masa lalu perlahan kembali terdengar, mengalun pelan, seolah menunggu waktu yang tepat untuk berhenti sepenuhnya atau dilanjutkan ke nada yang baru.
--Tamat--