Flash Fiction
Disukai
0
Dilihat
20
Pentigraf The Best
Horor
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Mirip.

Oleh

David Perdana Kusuma

Melihatnya saja sudah takut. Apalagi kalau berada di depan muka seperti ini. Face to face. Waduh.

Ujar salah satu kolega kami. Sebagai satpam di sebuah perusahaan gula. Yang namanya hal aneh itu sering terjadi.

Hal-hal aneh di luar nalar, yang menjadi cerita dalam setiap tegukan kopi dan hisapan rokok yang kami lakukan kalau sudah berkumpul dan berjaga malam.

Malam ini hanya ada saya dan bang Tarjo.

Senior kami. Setelah berkeliling dan berbagi tugas, aku kebagian belakang pabrik, dan bang Tarjo di bagian depan.

Anehnya, malam ini semua terlihat aman dan damai. Hal - hal di luar nalar yang tadi aku utarakan, sepertinya tidak terjadi.

Semuanya terkendali.

"Wah, malam ini semuanya aman ya bang." Ucapku. Sambil menghisap sebatang rokok, yang kuminta dari bang Tarjo.

"Aman sih aman," ucapnya, "tapi rokokku kau minta terus. "

Katanya sambil menghembuskan asap rokok itu ke arah jendela pos jaga.

"Ya, lebih baik kalau seperti ini tiap malam bang. Sampai pagi tetap aman. Kita jaga malam tidak diganggu." kataku padanya.

"Memang kau ini, gangguan sedikit saja langsung takut, badanmu saja yang besar. Generasi z dan alpha memang payah." Ucapnya menyindir.

Orang tua kurang asem pikirku. Bawa- bawa generasi.

Tiba - tiba saja telepon berbunyi.

"Coba kau angkat telepon itu." Ucap bang Tarjo memerintahku.

"Yah bang, kan telepon di sebelah Abang." Ucapku sambil berdecak.

"Sudah angkat saja."

Katanya, sambil terus merokok.

Aku dengan menggerutu tidak jelas, beranjak dari kursiku.

"Ya, siapa di depan?" Tanyaku.

Di seberang sumber suara, terdengar ucapan yang sangat familiar.

"Don, ini aku Tarjo. Buka pintunya. Aku bawa martabak."

Hening, senyap.

Tidak terdengar suara malam, suara motor lewat yang biasanya sesekali meraung di belakang tembok pabrik.

Suara serangga malam yang berisik, sunyi.

Sambil tetap memegang gagang telepon, angin dingin menusuk tengkuk.

Jidatku berkeringat, peluh keluar tidak terkendali.

Aku menoleh ke arah bang Tarjo yang seharusnya ada di depanku dari sejak malam tadi.

"Waduh, sudah sadar ya kamu Don

Bagaimana? Kami terlihat mirip kan?"

Ucap bungkusan putih itu, menyeringai.

Lamandau, 2024.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar