Laki-laki tua itu berjalan pelan menyusuri pinggiran taman kota yang teduh. Sesekali senyum tipis terlihat di bibirnya, ketika dia melihat anak-anak kecil berlari dan bermain disekitarnya. Perlahan, dia melangkah dengan pasti menuju salah satu bangku taman yang ada di pojokan, sedikit terpisah dari pengunjung yang lain. Terpisah dari keramaian, dia duduk diam sendiri, menerawang jauh ke depan.
Sebuah rumah tua berdiri rapuh di seberang taman. Entah sudah berapa lama rumah itu berdiri dan entah sudah berapa lama pula rumah itu kosong tak berpenghuni. Tidak ada yang tahu pasti. Sebagian besar penghuni disekitarnya hanya mendengar cerita dari penghuni sebelumnya, tapi tak seorang pun yang tau pasti apa yang terjadi.
Laki-laki tua itu memandang kosong ke arah rumah tua di seberang taman. Tanpa sadar, pikirannya melayang kembali ke masa puluhan tahun yang lalu. Suasana disekitar rumah tua di seberang taman sudah jauh berubah, tapi tidak dalam kenangan laki-laki tua itu.
Dia masih mengingat jelas ketika rumah tua itu masih berdiri dengan gagahnya. Dia masih mengingat ketika rumah tua itu masih memancarkan aura kehangatan. Ketika canda tawa anak-anak kecil selalu terdengar bermain di halaman yang cukup luas. Dia masih ingat sebatang pohon mangga yang dulu berdiri kokoh di sudut kanan depan, sekarang sudah tidak terlihat lagi. Dia masih ingat ketika seorang anak kecil jatuh dari pohon mangga itu dan harus dibawa ke rumah sakit karena tangannya patah. Dia masih ingat ketika mereka semua menulis nama dan gambar-gambar lucu di casting putih yang membalut tangan anak itu. Sebuah tawa kecil mengiringi kenangan itu.
Laki-laki tua itu menghela napas kecil; satu per satu kenangan indah puluhan tahun yang lalu, tergambar jelas dalam lamunannya. Keceriaan, canda tawa, bahkan kenakalan yang terjadi.
Dia masih ingat ketika anak-anak kecil yang sering bermain di rumah itu beranjak remaja. Satu per satu mulai berubah. Ada yang pergi, ada pula yang datang; hanya dua anak yang tetap bersama. Mereka tidak lagi berkejar-kejaran di halaman depan, namun keceriaan dan persahabatan masih terasa hangat.
Laki-laki tua itu tersenyum tipis, seolah dia masih bisa mendengar tawa dan canda dari rumah tua itu.
Lamunannya bergerak perlahan, menghapus senyum tipis di bibirnya. Raut kesedihan yang sangat dalam terpancar jelas di wajahnya, mengingat apa yang terjadi kemudian; kenangan di hari yang tidak akan pernah dia lupakan.
Ketika semua kebahagiaan dan kehangatan harus terenggut paksa dari rumah itu. Ketika kebodohan seorang manusia harus menghempaskan semua mimpi indah, mengubah tawa dan senyum menjadi tangis yang mendalam.
Laki-laki tua itu masih mengingat jelas seolah itu baru terjadi kemarin. Ketika semuanya harus berakhir dan tidak bisa kembali lagi. Laki-laki tua itu masih mengingat betapa semuanya tidak lagi sama setelah hari itu. Tidak ada lagi terdengar tawa dan canda dari rumah itu, tidak ada lagi keceriaan dari para penghuninya. Aura kehangatan yang selalu terpancar dari rumah itu berganti awan gelap yang penuh kesedihan.
Laki-laki tua itu masih mengingat kesedihan yang dia rasakan setiap kali dia melewati rumah itu sekian puluh tahun yang lalu. Laki-laki tua itu masih mengingat ketika rumah tua itu ditinggalkan penghuninya tak lama setelah tragedi itu terjadi. Dia masih mengingat betapa kosongnya rumah itu kemudian; kekosongan yang seolah menjadi kepastian bahwa semuanya telah berakhir.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Orang lama beranjak pergi, orang baru berganti datang. Kehidupan berjalan terus dan laki-laki tua itu pun harus beranjak pergi. Tak banyak orang yang masih mengingat apa yang pernah terjadi; bahkan mungkin tak banyak yang benar-benar tahu apa yang terjadi.
Laki-laki tua itu tidak akan pernah melupakannya. Berpuluh tahun sudah berlalu, beragam sudah terjadi dalam hidupnya. Bahagia, sedih, kegagalan, keberhasilan, tawa dan tangis menghiasi puluhan tahun hidupnya. Namun tak ada yang melebihi kesedihan yang dia rasakan, kehilangan yang dia rasakan puluhan tahun yang lalu, ketika sahabat masa kecilnya harus terenggut paksa dari hidupnya.
Tanpa sadar, setetes air mata mengalir di pipi laki-laki tua itu.
Menit berlalu, laki-laki tua itu tersadar dari lamunannya. Dengan sebuah helaan napas kecil, dia tersenyum tipis walau sisa air mata masih mengenang di matanya.
Dengan tangannya yang rapuh dia mengambil sapu tangan dari sakunya dan menghapus sisa air matanya. Sekali lagi dia memandang tajam ke arah rumah tua itu, pandangan nanarnya seolah melihat sesosok anak kecil berdiri di depan pagar rumah tua itu, tersenyum ramah. Sosok yang tidak akan pernah dia lupakan seumur hidupnya.
Tersenyum simpul dia membalas dengan anggukan pelan.
“Sebentar lagi, sobat…. Sebentar lagi, kita akan bertemu kembali.” Dia berbisik pelan dalam senyumnya.