28 Februari 2022
Untuk Rehan.
Baiklah. Ini rutinitasku sekarang, Re. Kuliah via daring, mengerjakan tugas, kuliah daring lagi, mengerjakan tugas lagi, menyendiri di kosan, makan satu atau dua kali sehari, itupun sering menelan mi instan, pasif di kelas, hampir tidak punya teman, tidak pernah menghadiri kumpul-kumpul dalam rangka apapun, selalu tidur lewat tengah malam, merasa tersiksa setiap ada tugas kelompok dan praktikum. Menyedihkan, bukan?
Tunggu. Itu masih belum ada apa-apanya. Biar kuberitahu sesuatu yang lebih menyedihkan dan payah.
Aku selalu iri setiap melihat seseorang sedang bersama kawan-kawannya, hangout, makan bersama, bercanda, mengerjakan tugas bersama, saling mengunjungi, dan hal-hal semacam itu. Aku tahu perasaan seperti itu sungguh aneh. Akal sehatku pun tidak dapat menerimanya dan selalu menekankan bahwa “aku harus menyingkirkannya dari dalam kepala dan hati secepat mungkin”. Harus.
Kupikir aku sudah terlampau membenci keberadaan perasaan melankolis. Tetapi aku tidak ingat bagaimana dan kapan diriku mulai seperti ini. Aku juga sadar bahwa penolakan terhadap hal-hal melankolis tersebut menjadikan diriku terkesan dingin kepada orang lain.
Contohnya saja ketika berada di luar wilayah pribadiku (alias kamar) siapapun akan mendapatiku menyumpali telinga dengan earphone sepanjang hari. Benar-benar sepanjang hari. Lalu, ketika sedang bersama seorang teman di daerah kampus, aku tidak akan buka suara kecuali jika ditanya. Tidak pula berusaha memperpanjang percakapan. Hanya mengatakan apa yang perlu dikatakan dan selebihnya diam.
Re, aku bingung. Aku tidak tahu apakah aku benar-benar sosok yang dingin atau memang kesendirian membuatku lebih nyaman atau … aku tidak tahu caranya bersosialisasi. Sebut saja, terlalu canggung untuk memulai.
Ya ampun, semakin lama suratku untukmu semakin panjang.
Tertanda, Serulian yang sedang terombang-ambing.
***
1 Januari 2022
Untuk Rehan.
Enggak tahu kenapa, ya, Re, menurutku enggak ada yang lebih memuakkan ketimbang tahun baru. Ralat. Hari kelahiran lebih memuakkan. Aku benci ketika harus mengingat bahwa diriku akan bertambah usia lagi, lagi, dan lagi. Pun membenci ketika tersadar bahwa tahun telah berganti.
Definisi tahun baru adalah era baru, waktu yang tepat untuk membuka lembaran baru, membentuk tujuan baru, menyusun target baru dan meraih pencapaian baru, tidak berlaku buatku. Yang ada justru masalah baru, tekanan baru, tuntutan baru dan kegilaan baru. Jujur saja, Re, kegiatan bersorak, meniup terompet dan menyalakan kembang api saat tengah malam demi menyambut dan merayakan tahun baru, terlihat bodoh menurut kacamataku.
Hei! Memangnya semua itu untuk apa, sih, Re? Apakah mereka senang karena bertambah tua?
Aku harap, sampai kapanpun diriku tidak akan pernah ikut berperilaku bodoh semacam itu.
Tertanda, Serulian yang sudah muak dengan huru-hara tahun baru.
***
19 Mei 2019
Untuk Rehan.
Rehan, sepertinya diriku sudah gila. Aku menghabiskan weekend di rumah sendirian, padahal teman-teman sekelas sedang berkumpul di café yang berada tak jauh dari tempat tinggalku (aku tahu dari unggahan salah satunya di media sosial). Tidak, aku tidak dikucilkan, kok. Aku sendiri yang menolak ikut. Dan selalu begitu semenjak … entahlah. Aku merasa tidak mampu berbaur dengan mereka. Ingat? Aku terlanjur terbiasa sendirian.
Ah, ada satu lagi kegilaan yang membuatku frustasi.
Dulu, saat masih kecil, kamu adalah teman mainku, lalu berubah jadi teman bercerita, kemudian berubah lagi menjadi sahabat yang pengertian. Tapi kayaknya yang satu ini sungguh tidak termaafkan, deh. Apa aku boleh mengatakannya padamu?
Emm…, begini, entah apa yang merasuki otakku tapi … aku mulai menganggapmu lebih dari itu. Sebagai laki-laki yang aku suka, mungkin? Wah, jangan-jangan nanti aku bakalan betulan menganggapmu sebagai pacar bahkan … suami? Tidak tidak. Usir pemikiran bodohmu, Serulian! Jadilah manusia normal!
Dari Serulian yang menggila.
***
7 Maret 2016
Untuk Rehan.
Apa itu kemurahan hati? Apakah ia sudah lenyap tak bersisa dari dunia ini? Katakan padaku, Re! Aku cuma melakukan apa yang kusuka dan enggak menyakiti orang lain. Memangnya, ada yang salah dari novel? Tapi mereka terus-terusan mengataiku sombong dan cuek hanya karena aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan novel-novel itu daripada ikut bergunjing.
Sebenarnya, pada awalnya, ada teman sekelasku yang antusias ketika kuberitahu diriku pecinta novel, namun tidak lagi setelah mengetahui bahwa genre favoritku adalah misteri dan thriller. Apa kamu tahu buku-bukunya Bapak Dan Brown atau Akiyoshi Rikako, Re? Ah, ya, hampir mustahil kamu tahu. Aku paham kalau langka sekali menemukan anak SMP yang membaca novel seperti itu. Tapi, setidaknya, kamu enggak akan mengejek dan mengucilkanku, kan, Re?
Dari Serulian yang sedang terluka.
***
27 September 2013
Untuk Rehan.
Rehan, kenapa teman-temanku jadi aneh? Mereka jadi enggak mau diajak main petak umpet dan lari-larian. Mereka juga sering membicarakan grup musik yang isinya cowok-cowok, film bersambung dari Korea dan cowok cakep. Memangnya yang seperti itu asyik, ya? Bukannya lebih seru main dan nonton kartun? Kalau menurut Rehan bagaimana? Apa Rehan juga suka hal-hal semacam itu? Rehan, kan, seumuran sama mereka. Ingat? Usia kita beda setahun.
Dari Serulian yang bingung.
***
28 Agustus 2012
Untuk Rehan.
Rehan, aku sebel! Masa aku disuruh ngalah terus ke adek? Nggak adil! Dulu sewaktu aku umur enam tahun disuruh mengalah. Kata Mama karena Adek masih kecil. Sekarang Adek sudah tujuh tahun, aku juga yang disuruh mengalah. Jadi, alasan Mama minta aku mengalah bukan karena umurku tujuh tahun, delapan tahun atau sembilan tahun, kan? Mama minta aku mengalah karena aku seorang Kakak, anak paling besar. Terus, apa aku akan disuruh mengalah selamanya?
Dari Serulian yang kesal.
***
10 Juni 2011
Untuk Rehan.
Rehan, tahu enggak? Tadi aku dapat kue cokelat dari Mama! Enggak pakai kejutan, sih. Aku dan Mama bikin kuenya bareng-bareng buat ngerayain ulang tahunku. Seru! Pas masih bentuk adonan saja sudah enak, lho. Seandainya saja Rehan bisa ikutan makan kuenya bareng. Sayangnya enggak bisa. Rehan enggak bisa keluar dari kepalaku. Tapi aku enggak sedih, kok. Yang penting, aku bisa berbagi cerita sama Rehan. Maaf, ya, Rehan, karena aku makan kue lezat ini sendirian. Rehan enggak iri denganku, kan? Nanti pas Rehan ulang tahun, aku rayain juga, deh.
Dari Serulian yang lagi senang.
***
20 November 2008
Untuk Rehan teman baruku.
Halo. Aku Serulian. Aku lima tahun. Aku baru saja lulus dari ujian membaca. Jadi aku sudah bisa membaca dengan baik. Mama bilang aku bisa menulis surat untuk Rehan setiap hari untuk berlatih menulis
supaya tulisanku jadi bagus.
Dari Serulian.
***