"Aku benci lewat jalan depan toko wak kaji, Mak." Seorang anak berbaju putih lusuh bersungut.
"Kenapa, Le?" sahut wanita tua yang duduk sambil merapikan koran-koran bekas.
"Bau sekali di sana."
Dia tahu maksud cucunya. Di depan toko wak kaji ada penjual durian. Sudah berhari-hari sejak pedagang durian buka lapaknya di situ, cucunya tak berani lewat. Dia lebih memilih jalan memutar melalui rel kereta. Entah musim durian ke berapa tahun ini yang mereka berdua lalui tanpa bisa menyambutnya seperti orang lain. Memborong, pesta durian, mandi durian. Kalap. Seolah tahun depan tak bertemu durian lagi.
"Le, aku dapat ini tadi. Makanlah." Si bocah yang disapa tole, terbelalak. Senang. "Ketan durian!" pekiknya hampir membangunkan seluruh malam.
Ketan segumpal yang di atasnya diberi durian -- tepung dengan sedikit daging durian dicampur banyak perasa durian.
"Agak basi, Mak."
"Makanlah. Bukankah kita terbiasa dengan makanan basi."
Iya terbiasa. Tapi bukan untuk durian, buah yang paling tole inginkan.
Tole melahap semua sampai tandas. Mak Supi memandang sambil mengelus kaki kanannya yang lumpuh. Perut laparnya terus mendendangkan lagu kehidupan.
"Emak sudah makan?" Tiba-tiba tole teringat. Tiba-tiba dia merasa berdosa. Emak dengan kaki lumpuhnya pasti mencarikannya sisa durian. Emak yang perutnya selalu lapar. Durian membuatnya serakah malam ini.
"Mari kita tidur, Le. Hanya dengan tidur kita bisa makan apapun dalam mimpi."
Emak merapikan koran. Koran yang ia tata dengan pondasi mimpi. Inilah tempat tidur mereka, di atas trotoar, di tepi jalan. Emak dan tole pun mulai memejamkan mata, tersenyum pada semesta dan menyerahkan hidupnya pada jalanan.