Flash Fiction
Disukai
0
Dilihat
104
Papamu Sayang
Aksi
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Kamu masih kelas tiga SMP tetapi hubungan kita sebagai ayah dan anak telah berjarak. Kita bicara kini pendek dan kaku. Tatapanmu menerjang. Tatapan lelaki bergejolak luka dan amarah. Kamu tak lagi bisa bersahabat dengan Papa. 

Sejak Papa dipindahtugaskan dan jarang bersamamu, Papa melihat gelagat perubahanmu. Tak banyak lagi cerita tentang hari-harimu yang penuh petualang, tawa, dan kesal itu. Terlebih, sejak persoalan minta motor itu, kamu sama sekali tak mau lagi bicara dengan Papa. 

Mengendarai motor belum waktunya bagimu. Tapi kamu terus merengek. Terus menelepon Papa. Papa yang lagi rapat menjadi terganggu oleh maumu. Kamu membuat Papa marah. Papa bentak kamu, sempat memakimu, dan mengancam tak memberi jajan dan jalan-jalan.

Sejak itu kamu diamkan Papa. Ketika Papa pulang, (menghabiskan Sabtu dan Minggu di rumah, bersamamu dan Mamamu), kamu beku pada Papa. Papa terus mencoba mencairkanmu dengan bercanda. Papa coba mengusir marahmu dengan mengajakmu nonton bioskop, atau menghiburmu dengan jalan-jalan bersama Mama, tapi kamu kukuh beku. Kamu ada saja alasan menolak.

Mamamu yang sedang berkutat dengan kertas-kertas perusahaan di mejanya, telah Papa minta tolong mendamaikan kita tetapi kamu tetap marah pada Papa. Papa merasa sedih dan bersalah. Kata-kata Papa di telepon itu telah begitu dalam dan lebar mengoyak hatimu.

Papa cari cara lain demi mendapat maafmu. Papa membeli sepatu futsal dan kaos bola tim favoritmu. Kamu menerima saja dengan wajah datar tanpa ekspresi.

"Suka 'kan?" Papa menjelajahi sinar matamu yang patah. Papa begitu sedih melihat tatapanmu begitu. Mata yang sakit dan kecewa. Mata yang tak lagi mengagumi Papa sebagai ayahmu. Kamu menatap Papa seperti menatap orang yang tak memberimu kenyamanan.

Tak sanggup menahan kerenggangan hubungan kita ini, Papa langgar aturan. Papa penuhi permintaanmu, membelikanmu motor.

Mamamu protes keras. KTP-mu saja belum cukup umur dibuat, bagaimana nanti mendapatkan SIM motor. Akan tetapi, demi melihat matamu bangga dan menganggap Papa sebagai ayahmu lagi, KTP dan SIM itu bisa Papa olah.

Saat motor itu tepat di hadapanmu sebagai kejutan, kamu sama sekali tak berubah raut wajah. Tak terkejut apalagi senang. Responmu sungguh membuat Papa ingin menangis.

"Aku gak butuh motor lagi, Pa. Lebih asik naik angkot sama teman-teman." Sepatah kalimat itu saja yang terlontar. Kamu berlalu masuk kamarmu. Tak lagi berarti Papa di matamu.

Ketika Papa pergi dinas lagi, Senin-Jumat, Papa gelisah dan rindu padamu. Rindu senyummu. Rindu tawamu. Rindu akan percakapan lepas kita. Rindu tatapanmu yang bangga dan kagum pada Papa. Rindu mendengar perubahan suaramu yang mulai serak; tanda usiamu menuju akil balig.

Saking resah dan rindunya, saat masih jam kerja Papa curi waktu meneleponmu. Kamu mengangkatnya. Kamu sedang jam istirahat sekolah.

"Bagaimana kabarmu, Mister?" Sapa Papa dengan julukanmu.

"Dodi habis dihukum, Pa. Dijemur beramai-ramai tadi. Terus dicubit tiga kali. Sakit sekali," katamu seperti merintih.

Mendengar suaramu; mendengar kembali sapaan "Papa"; mendengarmu mengiba bantuan, berdesir darah Papa ke ubuh-ubun. Haru dan marah berbaur dalam diri Papa.

Kamu disakiti. Sebagai anak kamu butuh perlindungan. Kamu sedang dalam kesakitan selama ini, maka tak seorang pun Papa izinkan menambah kesakitanmu.

Papa segera minta izin kantor. Pulang melihat keadaanmu. Di rumah, untuk pertama kali sejak hubungan kita retak, kamu mau bercerita panjang lebar mengenai yang telah terjadi padamu di sekolah. Kamu tunjukkan lenganmu yang terdapat tiga bekas cubitan membiru dengan muka meringis.

Papa memelukmu haru dan marah. Haru karena kamu telah menganggap Papa sebagai ayahmu lagi. Seorang ayah yang bisa kamu harapkan mampu menjaga dan melindungi jiwa dan ragamu yang masih rapuh dan sedang tumbuh kembang.

Papa juga marah. Marah atas perlakuan gurumu padamu. Baiklah, akan Papa tunjukkan, buktikan padamu bahwa Papa pantas kamu banggakan dan kagumi. Papa tak akan mengecewakanmu lagi.

"Ayo, ikut Papa. Kita polisikan guru yang telah menyakitimu itu! ***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Aksi
Rekomendasi