Tuan mau dengar kisah di kampung kami? Sebuah kisah yang berhubungan dengan sulitnya kami bisa mencintai Tuan. Sampai-sampai kami tak peduli apapun kata, tindakan, dan kabar apapun tentang Tuan. Baik buruk Tuan masa bodo buat kami.
Kenapa kami sulit mencintai Tuan? Begini ceritanya.
Tuan tidak mengenal kami dengan baik. Tuan hanya ingin dikenal, didengar, diikuti, dipenuhi maunya. Tuan sering berbicara berbuih-buih, bicara mimpi-mimpi masa depan tapi untuk urusan kami, misalnya jaga harga panen kami agar tak anjlok, Tuan tak bisa penuhi. Kami petani Tuan, jangan jejalkan mimpi yang tak ada kaitan dengan kepetanian kami.
Tuan kadang berbicara semangat maju, aktif, optimis, berkarakter, berdaya saing dan apalah-apalah tapi untuk membuka ruang gerak kami yang lulus SMA ini saja, Tuan selalu bikin kecewa kami. Pantas kami kecewa 'kan Tuan?
Kami pengangguran, Tuan. Baru tamat SMA. Tak bisa kuliah, otak kami bodoh kata siapa saja. Tak bisa kerja otak dan otot kami karena tak punya skill, kata mereka. Tak bisa bertani, karena modal tak ada. Ada panen, rugi. Gagal karena banjir, hujan, atau harga turun. Malas banget bertani.
Oh Tuan merasa capek dan putus asa kami. Makanya banyak kami tak suka bertani. Ada juga yang mau bantu modal bertani, dan digaji setelah tiga bulan setelah panen. Mana bisa begitu Tuan. Kebutuhan mesti dipenuhi tiap hari. Emang hari-hari kami mau makan apa?
Bagaimana dengan saya?
Tuan pasti tentu lebih-lebih tak kenal saya. Siapalah saya. Gak penting buat Tuan. Ada tiada tak terlalu berarti bagi Tuan. Tapi akan saya coba bikin diri punya arti pada Tuan. Biar Tuan ingat saya. Ingat karena cerita saya ini.
Banyak cerita dari pengalaman saya, Tuan. Langsung jadi saksi di lapangan yang mana Tuan sendiri sudah jarang turun lapangan kecuali pas kampanye dulu. Sekarang sibuk antargedung saja.
Tuan juga tentu tak nyaman turun lapangan. Sangat risih ya Tuan berakrab sama kami. Kenapa Tuan? Kami pengemis ya di mata Tuan? Takut diminta ini itu? Jawab dalam hati Tuan saja sendiri.
Tuan mau dengar cerita saya lagi? Siap tidak? Soalnya cerita gak enak ini Tuan. Soal dunia remaja yang saya lihat langsung. Saya anggap siap. Pemimpin harus kuat katanya. Tuan tentu kuat.
Saya cerita dulu tentang diri saya sebelum saya cerita tentang apa yang saya dengar dan lihat. Saya sudah bekerja kini Tuan. Tamat SMA.
Dulu, saya seperti kebanyakan orang di negeri Tuan pimpin, saya nganggur. Sudah biasa nasib kampung kami turun-temurun begitu. Lalu saya gabung jadi MLM. Digembleng saya jadi orang optimis. Lalu untung banyak buat mereka. Saya dapat sisa-sisa hasil mereka. Saya dikibuli. Kapok saya Tuan kerja begituan. Keluar. Lalu nganggur lagi.
Pernah terbersit jadi TKI. Sudah nanya-nanya sana-sini. Sudah usaha jual apa aja biar bisa ongkos ke luar negeri. Lalu satu hal lain hal, aturan administrasi di negeri Tuan menyulitkan saya bekerja. Saya kecewa pada Tuan.
Saya kini jadi penjual bakso bakar di kampung pakai motor pinjaman (kini sudah punya sendiri). Alhamdulillah, Tuan, kerja begini bisa beli motor. Tapi jangan harap dan berpikir saya bisa beli motor karena ada peran kepemimpinan Tuan. Tidak ada peran Tuan di situ, baik langsung atau tak langsung. Kalau peran Tuan menghinakan saya secara tak langsung, saya rasa ada.
Bagaimana bisa begitu? Begini ceritanya.
Saya biasa mangkal di sekolah-sekolah saat jualan bakso bakar, khususnya di SMA. Maklum Tuan banyak wajah seger-seger yang enak dilihat di SMA. Tuan suka daun muda? Haiyaaa... Ayo, ngaku Tuan!
Kembali lagi bagaimana saya terhina.
Jadi perjuangan berat saya buat kerja beginian Tuan. Bukan berat di modal dan tenaga, tapi berat di mental saya Tuan. Dicemooh awalnya. Keluarga besar, teman, dan masyarakat, rendah kali mereka lihat saya bekerja beginian Tuan. Beban mental itu saya pikul selama setahunan. Baru lepas beban itu ketika saya bisa beli motor ini. Mereka bilang saya sudah berhasil. Beuuh... Begitulah masyarakat Tuan pimpin melihat dan menilai harga saya.
Lalu, banyak teman sebaya yang nganggur pingin juga jualan atau usaha apa saja di kampung. Tapi malu Tuan. Pandangan masyarakat gak sedap Tuan. Teman saya tak sanggup.
Maka Tuan, mereka lebih memilih nganggur dan sering tenggelam di dunia main-main. Stress sebenarnya mereka Tuan. Begitu kacau. Sering lari ke ganja.
Tuan, selama masyarakat Tuan masih punya mental mencemooh dan menjatuhkan kami-kami yang mau berdikari ini, selama itu Tuan saya anggap berperan menghinakan kami. Ini masyarakat Tuan yang perlu diayomi, termasuk beresi mentalnya. Banyak peran Tuan tak sampai, tak menyentuh kami.
Remaja kini Tuan, duh, sek-eseknya, nauzdubillah. Mereka saya dengar sendiri ngomong seputar seks seperti serunya ngomong game balap. Mereka gampang kali begituan Tuan. Yang gak begituan, dibilang lemah, banci, bencong, gak laku! Lalu berlomba-lombalah mereka begituan demi harga diri! Ngawur bener sudah!
Buat keperluan dunia remaja yang gak pernah cukup Tuan, lalu mereka yang tak tahan jadi nyuri apa-apa yang bisa dijual segera. Demi bisa beli rokok, ganja, pulsa, paket internet, dan macam-macam.
Tuan tahu tidak, kalau remaja putri SMA kudengar dari mereka langsung, banyak bisa dibooking. Mereka jual tubuh, Tuan! Ke pejabat publik; anggota dewan, tentara, polisi, guru, dan siapa saja yang berduit. Duh, negeri Tuan. Miris atau mau pesan Tuan? Saya ada nomornya kalau mau.
Belum lagi soal berantem dan tawurannya, soal hamil, .... Ah, sudahlah. Banyak kali saya cerita. Sakit kuping Tuan nanti. Saya sudahi saja. Saya mau jualan bakso dulu.
Abaikan saja cerita saya. Karena cerita saya pun sudah dilabeli media ini merupakan cerita fiktif. Berarti gak nyata. Khayalan saya doang. Ya, sudah, lupakan saja. Saya paling tidak sudah menyampaikan alasan kenapa begitu sulit mencintaimu, Tuan. ***