Gerhana bulan dikabarkan sangat indah jika dilihat secara langsung. Dan terpikirkan untuk melihat terjadinya gerhana bulan di danau merupakan sensasi baru bagi dua anak kecil yang senang hal baru.
Saat itu, aku berusia tujuh tahun, sementara adikku satu tahun lebih muda dariku. Apa yang dilakukan anak umur tujuh tahunan ialah bermain. Tak bisa dielak, saat kau bertanya kepada seorang anak, apa yang mereka inginkan? Maka mereka akan menjawab bermain.
Aku dan adikku senang bermain. Kami akan mencari banyak tempat bermain bersama di penjuru desa, pergi bersama, dan mengetahui semuanya bersama. Pantas saja kami adik-kakak, karena kami punya banyak kesamaan.
Selain bermain, apalagi yang disukai anak berumur tujuh tahun? Berjelajah. Aku dan adikku senang berjelajah. Sebenarnya bermain dan berjelajah adalah dua kata yang berbeda, tapi jika kau menikmati keduanya, makna kedua kata itu akan sama; menyenangkan.
***
"Kak, gerhana bulannya sebentar lagi akan muncul! Ayo cepat ke sungai!" Antika—adikku, menarik tanganku menuju danau.
"Sabar, Antika. Gerhana bulan tidak akan pergi ke mana-mana, mereka akan terlihat sama di semua tempat." Walau aku menentangnya, tapi aku tetap membiarkan Antika menarik tanganku.
"Ih, nggak! Kita harus lihat itu di danau, pasti akan lebih indah." Antika dan aku berlari menuju tepi danau. Seketika kami berhenti saat lampu tepi danau menyinari pinggiran danau, saat itu Antika sedih karena tidak bisa melihat gerhana bulan di tengah danau.
"Jangan bersedih Antika, dilihat dari sini pun tetap indah lho." Aku mengelus rambut Antika yang lurus. Bukannya terlihat senang dan terhibur, Antika justru semakin sedih, dia muram.
Aku mencoba menghibur, namun Antika tetap muram. Jadinya aku inisiatif mencari sesuatu untuk menghiburnya. Dan kudapatkan sebuah sampan di dermaga kayu kecil yang usang.
Aku mengabari Antika. Antika seketika senang, bibirnya melekuk riang. Kami pergi bersama menuju dermaga kayu, lalu menuju sebuah sampan kecil yang sengaja ditaruh di atas dermaga—seharusnya sampan itu mengapung di atas danau.
Aku tidak peduli, jadi kudorong saja sampan itu hingga kembali mengapung di atas danau. Antika makin gembira, akhirnya kami naik bersama. Aku mendayung ke tengah danau, hingga seketika malam menjadi semakin malam, gelap gulita. Saat itulah gerhana bulan terjadi, tampak megah jika dipandang di tengah danau, tapi juga menyeramkan dan sedingin air danau ini menenggelamkan kami.
Saat kami takjub akan indahnya gerhana bulan yang menggelapkan bumi, kami ditenggelamkan gelapnya danau saat kami sadar kami tak bisa kembali.
Sampan itu usang, berlubang di permukaannya, aku baru sadar saat kami berada di tengah danau, saat air membasahi kakiku. Namun aku telat, karena tak segera menyadari hal itu, karena sedang mengagumi indahnya gerhana bulan.