Aku tiba-tiba saja menangkap sosok yang hadir tak jauh dari tempatku duduk. Jaraknya hanya beberapa meter saja. Seorang pria dengan kemeja biru laut dan celana berwarna gelap, entah itu biru tua atau hitam rasanya aku tak dapat melihatnya dengan jelas. Di tangannya terdapat satu buku, sementara di tangan lainnya sebuah tas kerja tetap dipegang dengan eratnya.
Tak berapa lama, jaraku dengannya hanya beberapa sentimeter saja. Namun, ekpresi mukanya datar. Sementara aku mulai merasakan getaran yang tak biasa. Mulai mencurigai tepatnya. Mungkin saja ia akan menculiku atau mungkin saja akan terjadi kejahatan yang tak terduga.
“Mba, maaf buku yang kamu baca terbalik.”
Pria itu mengucapkan beberapa kata yang langsung membuatku menahan muka malu sambil membetulkan posisi buku yang terbalik. Untuk saat ini, mungkin saat yang tidak tepat untuk bertingkah memata-matai lagi.
“Mba sedang menunggu bus?”
Aku terdiam. Sebenarnya aku hanya menunggu pria pujaan hati itu lewat tempat ini saja, namun sudah satu jam lebih aku tak dapat menemukan si pria berkumis. Yang aku temukan justru pria bermuka polos ini.
“Ohh, iya mas. Aku menunggu bus 56 lewat.”
“Busnya baru saja lewat, 5 menit yang lalu pada saat mba memperhatikanku tadi.”
Aku menarik nafas dalam. Kali ini dua skenarioku terpatahkan oleh pria polos ini. Rasanya aku ingin segera pergi dari tempat ini saja.
“Boleh aku tanya?”
“Tanya apa Mas?”
Aku terpaksa meladeni muka polos ini dengan dua atau tiga potong kata saja.
“Rumahmu pasti di Senen ya?”
Apa? Rumahku bukan di Senen, tapi di Duren Sawit. Dan, sialnya aku harus menuruti skenarionya lagi untuk mengiyakan pernyataanku sebelumnya.
“Iya mas, rumah saya di Senen. Kan tadi aku udah bilang nunggu bus ke Senen.”
“Justru kalau ke Senen, Mba harusnya naik bus 67. 56 adalah jurusan Duren Sawit.”
Andai saja aku punya buku tebal, sudah aku lemparkan ke muka pria polos. Namun, aku harus menahannya dan berencana untuk kabur secepatnya.
“Oh iya mas, maaf aku permisi dulu ya. Ternyata ada yang tertinggal di kantor.”
Pria polos itu serentak berdiri dan mengikutku berjalan menuju arah kantor.
“Mba, ini sudah lumayan malam loh. Mbanya ngga takut?”
Langkah kecil sepatu kecil berwarna merah muda yang menginjak daun kemudian terhenti. Aku kemudian menengok sambil memperhatikan pria muka polos. Aku menatapnya tajam beberapa detik, kemudian berlalu menerjang tiupan angin muson sebagai tanda pergantian cuaca dari musim panas menuju musim penghujan.
Sebetulnya kantorku hanya berjarak tak lebih dari 100 meter saja dari halte bus, namun karena ulah pria muka polos, aku terpaksa memutar beberapa gedung.
Sesekali aku memperhatikan sekitar untuk memastikan pria itu tak berada di belakang atau mengikutiku. Celaka saja kalau setiap saat ke kantor, aku harus meladeni obrolan dengannya yang tak berarti.
Teng! Lift itu berhenti sempurna di lantai 15. Aku keluar dengan langkah terburu-buru. Pak Slamet, Satpam kantorku masih berjaga diluar, Aku menyapanya dengan senyum. Beberapa rekan kerja memang masih menyelesaikan laporan, sedangkan aku telah menyelesaikannya dengan tepat waktu.
“Dian, ngapain kamu balik ke kantor?”
Anton, rekan kerjaku tiba-tiba muncul dari balik dapur sambil membawa secangkir kopi yang harum.
“Eh, Ton. Aku mau ngambil buku, ada yang ketinggalan rupannya.”
Anton mengerutkan dahi.
“Bukannya tadi Lo udah balik kesini ya. Lihat aja bukunya udah ngga ada.”
Aku terkejut. Benar kata Anton, buku “Sabtu Bersama Bapak” sudah tidak ada di rak buku bacaan. Lalu siapa yang mengambil? Tidak mungkin Aku lupa ingatan kemudian mengulangi kejadian yang sama.
“Ah Ton, jangan becanda.”
“Ya elah kapa sih gue becanda, gue serius deh.”
“Okay deh Ton, gue balik deh, mungkin benar kali ya gue yang udah ambil tapi gue lupa, hahaha!”
Aku tersenyum hambar, antara percaya atau tidak, buku memang sudah tidak ada.
***
Beberapa daun jatuh. Aku berjalan semakin melambat ketika tiba dihalte. Rupanya ada dua orang sedang menunggu. Pria dengan kaca mata dan satu lagi seorang perempuan dengan rambut mirip denganku.
Perempuan itu sedang memegang sebuah buku. Setelah Aku duduk, barulah tersingkap sampul depan buku itu. Betapa terkejutnya aku, buku itu “Sabtu Bersama Bapak”.
Aku mengatur nafas. Perempuan itu masih membaca dengan syal yang menutupi sebagian wajahnya.
“Pletaakkk!”
Tiba-tiba suara ranting pohon yang kering terjatuh. Suasana malam itu makin dingin dan beku. Tak ada pergerakan dari dua orang yang menunggu bus. Aku pun membeku dalam rasa yang kalut.
Busku telah datang. Dua orang itu pun turut berdiri. kemudian setelah bus berhenti, kedua orang itu mengikutiku duduk dibelakang.
“bruukkk”
Buku itu terjatuh. Aku mencoba meraih bukunya. Dan ketika melihat ke arah samping, perempuan itu tampak melayang. Seketika itu aku tak sadarkan diri.